Faye Wongso (kiri) saat menghadiri webinar hybrid yang diselenggarakan Konjen Australia di Bali, Makassar, dan Surabaya pada Rabu (8/3). (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Konsulat Jenderal Australia Bali, Makassar, dan Surabaya menggelar webinar hibrid yang membahas pemberdayaan perempuan demi kesetaraan gender, Rabu (8/3). Kegiatan yang berlangsung selama sejam ini menghadirkan 3 pembicara perempuan yang merupakan pakar di bidangnya masing-masing, yakni Principal Scientist CSIRO, Dr. Dewi Kirono, Founder Kumpul.id dan Partner Supercharger Venture Builder, Faye Wongso, dan Director of Western Center for Cybersecurity Aid and Community Prof. Alana Maurushat.

Dalam webinar yang mengangkat tema Cracking the Code: Innovation for Equal Gender Future serangkaian peringatan International Women’s Day yang jatuh pada 8 Maret tersebut, Konsul-Jenderal Australia di Makassar, Bronwyn Robbins mengatakan Australia berkomitmen untuk kesetaraan gender di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia. “Kesetaraan gender adalah hal yang harus dilakukan dan merupakan kepentingan nasional yang vital,” tegasnya.

Baca juga:  Srikandi PDIP Kawal Penguatan Pemberdayaan Perempuan

Ia mengungkapkan Australia mendukung pemanfaatan inovasi dan teknologi lewat pemberdayaan perempuan. Memajukan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender merupakan fokus bersama Australia-Indonesia.

Hal sama juga disampaikan Konsul-Jenderal Australia di Surabaya, Fiona Hoggart dan Konsul-Jenderal Australia di Bali, Anthea Griffin mengatakan perempuan dan anak-anak perempuan harus diperjuangkan dalam kesetaraan. “Melalui pemberian kesempatan ini, kita dapat mempercepat kemajuan menuju masa depan yang setara gender,” .

Dalam webinar terungkap bahwa pemberdayaan perempuan di era digital ini merupakan sebuah keniscayaan meski pun praktiknya masih relatif belum maksimal. Namun, di tengah dunia kerja yang identik dengan pria, ketiga pembicara mampu eksis dan menunjukkan kinerja terbaiknya.

Baca juga:  Tim Yustisi Jaring 12 Pelanggar

Seperti disampaikan Dewi Kirono yang merupakan peneliti di CSIRO. Dalam kesempatan itu, ia menceritakan suka duka bekerja sebagai peneliti di CSIRO dan mengaku diperlakukan setara sehingga tidak mengalami kendala berarti selama kariernya yang sudah lebih dari 30 tahun itu.

Sedangkan Faye menceritakan bahwa pekerjaannya yang membantu ekosistem startup di Indonesia bertumbuh memiliki cukup banyak tantangan. Sebab, dunia teknologi umumnya identik dengan pria. Ia pun berharap ada lebih banyak talenta digital perempuan yang bisa mengembangkan ekonomi digital di masa mendatang.

Baca juga:  Menteri Bintang: Perlindungan Anak di Tengah Pandemi Harus Jadi Prioritas

Hal yang sama juga diakui Alana yang berbicara secara virtual kepada para peserta yang hadir di ruang diskusi Dharma Negara Alaya (DNA), Denpasar. Ia melihat pusat-pusat inovasi dan teknologi di berbagai negara belum sepenuhnya mendukung pemberdayaan perempuan. Kondisi ini terlihat dari tidak tersedianya akses ramah perempuan dan perempuan dengan anak kecil sehingga menyulitkan bagi para perempuan untuk mengejar karier sekaligus berperan sebagai ibu. “Jika kita ingin memberdayakan perempuan dan melakukan penyetaraan gender, setidaknya harus ada perubahan mendasar dari dukungan nyata yang ditunjukkan untuk perempuan,” tegasnya. (Diah Dewi/balipost)

 

BAGIKAN