Penari menampilkan Gambuh Budakeling, Sabtu (11/3). (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tari Gambuh Budakeling dari Karangasem mungkin banyak yang tidak mengenalnya. Tarian yang terbilang sulit dilakoni ini, bahkan hampir punah karena dikemukakan seniman asal Budakeling yang juga peneliti tari Gambuh Budakeling, Ida Ayu Wayan Arya Satyani, S.Sn., M.Sn., Sabtu (11/3), hanya tinggal 4 orang yang bisa diwawancara untuk menggali informasi tentang tari ini.

Ia mengatakan banyak yang bisa menari tapi karakteristik Tari Gambuh Budakeling berbeda.  Gerakannya seperti melakukan yoga dan karakter Panji harus kuat karena merupakan peran sentral dalam tarian ini.

Baca juga:  Serangkaian Panca Wali Krama Pura Agung Besakih, Mulai 20 Januari Dilarang Ngaben

“Hanya tersisa empat orang, tapi satu sudah tidak bisa diwawancara, tinggal tiga. Yang tiga inipun, ingatannya berkurang tapi takeh-takeh (pola-pola gerakannya) masih diingat. Ini yang membuat saya semangat, kalau tidak dari sekarang digali dan dilatih, takutnya hilang. Jadi tinggal bungkusnya saja tapi rohnya tidak ada,” ungkapnya.

Menurut Satyani, tantangan terbesar melestarikan tari Gambuh Budakeling adalah mengumpulkan dan menarik minat generasi muda supaya tertarik pada tari klasik itu. Sebab, ketika masuk ranah klasik, aturan dan pakemnya ketat. Belum lagi kompetensi terhadap olah vokal, tubuh, kepekaan terhadap musik juga harus pas.

Baca juga:  BPKS Kelola Sampah TPA Suwung

“Jadi banyak hal yang harus diikuti dan dipelajari sehingga untuk menarik mereka menarikan Tari Gambuh Budakeling, agak sulit. Saya khawatir karena menurut Pangelingsir Budakeling, banyak generasi muda bisa menari dan pandai menari, tapi jiwa Gambuh beda dengan tarian sekarang, karakteristik beda, karena tubuh seperti bermeditasi namun tetap sadar,” ujarnya ditemui saat Bincang Budaya dengan tajuk “Menggaungkan Kembali yang Punah” diselenggarakan Indonesia Gaya.

Baca juga:  Gudang Rongsokan, Motor dan Uang, Ludes Terbakar

Regenerasi Tari Gambuh Budakeling baru dimulai pada 2018 dengan didirikannya sekaa gambuh anak-anak, meski sekaa remaja sudah didirikan sebelumnya. “Tapi keluhan panglingsir kami, jiwanya beda, karena sekarang sudah ada tari kakebyaran, palegongan, belum lagi ada Tiktok, jadi jiwanya berbeda. Di situ tantangan terberatnya,” tuturnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN