Aspidsus Kejati Bali, Agus Eko Purnomo. (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang merupakan salah satu lembaga keuangan milik desa adat di Bali, hingga saat ini masih tetap menjadi objek pengawasan aparat penegak hukum. Kendati ada surat terkait Pemberitahuan Hibah Modal Pertama LPD kepada desa adat tertanggal 22 Desember 2022, LPD tidaklah menjadi kebal hukum. Pihak terkait diminta menghormati asas hukum, yakni equality before the law yang pada prinsipnya semua elemen masyarakat sama di mata hukum.

Sidang kasus korupsi LPD terus berlanjut. Sementara Pemprov Bali sudah menegaskan bahwa dalam rangka memperkuat perekonomian desa adat di Bali dan berdasarkan permohonan bendesa adat atau sebutan lain (berjumlah 1.127 Desa Adat) serta persetujuan DPRD Provinsi Bali, maka Pemerintah Provinsi Bali telah mengibahkan seluruh modal pertama pendirian Lembaga Perkreditan Desa (LPD) kepada desa adat di kota/kabupaten se-Bali. Total modal pertama LPD yang dihibahkan berjumlah Rp7.230.000.000 yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur Bali tentang Penerima Hibah Modal Pertama LPD kepada Desa Adat.

Baca juga:  Gender Wayang Diminati Anak-anak, Belajar dari TK

Dalam surat tersebut, sejak ditetapkannya Keputusan Gubernur tersebut, dijelaskan maka tanggung jawab pengelolaan modal LPD beserta perkembangannya sepenuhnya berada di desa adat, dan tidak ada lagi uang negara yang bersumber dari Pemerintah Daerah di LPD. Sehingga LPD tidak lagi menjadi objek pemeriksaan aparat penegak hukum.

Pucuk pimpinan Aspidsus Kejati Bali, Agus Eko Purnomo, Selasa (14/3) sependapat dengan prinsip hukum equality before the law. Bahkan dia menjelaskan sebagaimana harapan Presiden dan pedoman Jaksa Agung RI, dalam penanganan perkara, penyidik harus menghilangkan stigma tajam ke bawah tumpul ke atas. Namun sebaliknya penyidik mesti tajam ke atas dan humanis ke bawah, agar penyidikan dirasakan masyarakat luas.

Baca juga:  Bawaslu Tak Tindaklanjuti Laporan

Eko Purnomo yang merupakan pucuk penegakan pidana korupsi di Kejati Bali, menegaskan mengapa LPD menjadi objek pemeriksaan tindak pidana korupsi. “Jelas itu karena sumber dana dari LPD tersebut awalnya dari APBD Provinsi maupun kabupaten atau kota,” beber pejabat yang baru saja menetapkan Rektor Unud sebagai tersangka kasus SPI itu.

Apa yang disampaikan Eko Purnomo hampir mirip pendapatnya dengan ahli keuangan negara, Siswo Suyanto, saat menjadi ahli di Pengadilan Tipikor Denpasar. Dia mengatakan, walau pemerintah sudah mengibahkan modal, di sana tetap ada uang negara. “BLT juga hibah. Jadi, penggunaannya itu harus dipertanggungjawabkan. Pun dipakai modal bisnis, ya tetap harus ada laporan kendati dalam berbisnis merugi sekalipun,” jelas Siswo Suyanto.

Kata dia, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah keuangan negara yang dikelola sendiri, maupun orang lain. Jika ada korporasi dan pengelolaanya tidak benar, tidak berdasarkan pada SOP, di situ bisa terjadi ada kerugian negara.

Baca juga:  Awal 2020, DPRD Denpasar Garap 3 Ranperda

Oleh karena itu, kata ahli keuangan negara ini, pengelolaannya harus sesuai mekanisme pengelolaan dari negara. “Tidak boleh dihibahkan oleh negara, lalu digunakan seenaknya,” tandas ahli.

Saat ini di Bali, ada sejumlah kasus LPD yang sedang dibidik, sedang proses penyelesaian berkas, sedang dalam proses pembuktian di Pengadilan Tipikor Denpasar, ada dalam proses banding ada pula masih di tingkat kasasi. Tak kalah banyak kasus LPD di Bali yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).

Yang dalam proses persidangan, justeru yang menurut JPU, adalah kerugiannya memecahkan rekor. Yakni, LPD Anturan tercatat dalam dakwaan kerugian Rp 151 miliar dan LPD Sangeh Rp57 Miliar, dari temuan audit internal Rp131 miliar. (Miasa/balipost)

BAGIKAN