Oleh I Dewa Gde Satrya
Presiden Jokowi pada saat meresmikan Mayapada Hospital Bandung, Senin (6/3) menyatakan, negara kehilangan devisa sebesar Rp165 triliun karena ada modal keluar yang dibawa oleh hampir 2 juta orang Indonesia untuk berobat ke Malaysia, Singapura dan negara-negara lainnya. Momentum ini di satu sisi menjadi signal bagi pelaku dan pengelola rumah sakit untuk pertama-tama meningkatkan fasilitas dan alat kesehatannya, dan berkolaborasi dengan pelaku industri pariwisata di sisi lain untuk meningkatkan daya tarik serta nilai jual berobat sambil berwisata di Indonesia, baik di kalagan warga Indonesia sendiri maupun di pasar internasional.
Undang-Undang (UU) No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang disahkan Oktober 2009 memberikan peluang bagi rumah sakit untuk melakukan promosi. Pernyataan tentang salah satu hak rumah sakit yang tertera di pasal 30 tersebut membuka lembaran baru bagi industri medis di Tanah Air. Lebih-lebih, kaitannya dalam mendongkrak dan melakukan percepatan kemajuan wisata medis di Indonesia.
Kartono Mohamad (Suara Pembaruan, 2/3/09) menuliskan, beberapa alasan pokok mengapa orang Indonesia lebih suka berobat ke luar negeri dibandingkan mempercayakan pengobatan pada rumah sakit dan dokter dalam negeri antara lain, di pihak rumah sakit dan peraturan negara asing memiliki keunggulan dalam hal transplantasi, efisiensi biaya, dan hospitality. Di dalam negeri, faktor pemicu antara lain, ketiadaan sistem asuransi yang universal, serta rendahnya sikap dan mutu pelayanan pengelola rumah sakit kita.
Ironisnya, lanjut tulisan mantan ketua PB Ikatan Dokter Indonesia itu, manakala kita berandai-andai warga asing berminat untuk berobat ke negeri kita, harapan itu dibatasi oleh manajemen pemerintah asing dalam memberikan layanan kesehatan kepada warganya secara optimal. Orang-orang Singapura, Australia, Thailand, Jepang, Malaysia, Inggris dan negara Eropa lainnya enggan berobat ke negara lain karena mereka dijamin oleh asuransi kesehatan di negaranya, sehingga tidak perlu mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Selain itu, di negerinya juga diberikan pelayanan kesehatan yang terjaga mutu dan keramahannya.
Perilaku masyarakat Indonesia berobat ke luar negeri juga telah diantisipasi semasa kepemimpinan Presiden Yudhoyono. Saat meresmikan Mochtar Riady Comprehensive Cancer Center (MRCC) di kawasan Semanggi, Jakarta Selatan, Presiden Yudhoyono saat itu menyatakan negara tidak bisa melarang warga negaranya berobat ke luar negeri.
Presiden Yudhoyono juga menegaskan pentingnya membangun daya saing di bidang medis dari waktu ke waktu untuk memenangkan hati semakin banyak orang Indonesia berobat di negerinya sendiri. MRCCC dirancang sebagai simbol prestisius karya anak bangsa yang akan menarik minat penduduk Asia datang dan berobat ke sini. Untuk itu, medis juga terkait erat dengan turisme yang di dalamnya menempatkan pasien sebagai ‘wisatawan’ yang perlu mendapat perhatian khusus.
Saat ini, pemerintah telah melakukan pengembangan industri kesehatan berkolaborasi dengan industri pariwisata. Di akhir 2021, dilakukan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan di Sanur, Bali. Bali International Hospital, bekerjasama dengan Mayo Clinic, didirikan menandai langkah awal menumbuhkan destinasi wisata medis di Bali, Indonesia. Diharapkan, kehadiran KEK Kesehatan di Sanur dapat mencegah warga bangsa yang ingin berobat ke luar negeri dan mengarahkan pilihan berobat ke Bali.
Beberapa kota besar di Indonesia semakin banyak yang menggarap serius wisata medisnya. Sebut misalnya Surabaya, jika Surabaya melayani pasien Indonesia Timur saja, berarti 80 juta penduduk sudah menjadi pangsa pasar utamanya. Belum lagi 36 juta penduduk Jawa Timur sendiri. Dengan menjadi kota tujuan wisata medis, atau tempat rujukan berobat, akan semakin banyak menyelamatkan larinya devisa.
Beberapa rumah sakit di Surabaya dalam dekade terakhir mulai memperkuat positioning-nya dengan membangun center of excellence untuk pengobatan tertentu (spesifik). Sebut misalnya RS PHC, RS Mata Undaan, RKZ, RS Husada Utama, Siloam, RSI Jemursari, RS Haji, RS Mitra Keluarga, RS Darmo dan sebagainya. Tak hanya itu, banyak dokter pakar (professor) berbagai penyakit ada di Surabaya.
Wisata medis haruslah dikemas secara holistik. Misalnya, bagaimana membuat paket pelayanan mulai dari penjemputan lewat angkutan udara, penyediaan ambulance di bandara udara, dan penyediaan tempat penginapan untuk para penunggunya. Di pihak tour operator, juga perlu keberanian untuk mulai menawarkan paket wisata medis ini.
Sama seperti wisata pendidikan yang mengandalkan mutu dan popularitas pendidikan tinggi, wisata medis teramat mengandalkan kualitas layanan, kepakaran dan reputasi positif. Untuk itu, wisata medis pertama-tama berada di tangan pengelola rumah sakit, dokter dan perawat. Apa yang selama ini diupayakan masing-masing rumah sakit pada umumnya jelas-jelas membangun kepercayaan di mata pasien dan masyarakat luas, hanya saja mungkin dalam roadmap masing-masing perlu dipertegas keterkaitannya dengan dukungan pada wisata medis di Tanah Air.
Kita meyakini, seiring dengan semakin kuatnya reputasi dan brand masing-masing rumah sakit, dan dokter, maka semakin banyak pula warga Indonesia yang memercayakan kesehatannya pada rumah sakit dan dokter di dalam negeri. Selanjutnya, perlu langkah legislasi dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mendukung perkuatan wisata medis di satu sisi dan penyelamatan larinya devisa ke luar negeri di sisi lain. Kiranya rumah sakit dan destinasi wisata medis di Indonesia semakin bertumbuh dan mampu menjadi pilihan utama warga bangsa untuk berobat, serta menarik masyarakat internasional untuk berobat ke sini.
Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya