DENPASAR, BALIPOST.com – Munculnya banyak wisatawan mancanegara (wisman) berulah di Bali, bukan hanya karena Bali dijual murah meriah. Persoalan terbesar adalah tata kelola dan regulasi yang mengatur pariwisata saat ini tidak sebanding dengan gempuran disrupsi yang terjadi. Quality tourism (pariwisata berkualitas) sesungguhnya bukan hanya soal harga jual yang mahal, melainkan tentang kualitas produk, pelayanan dan pengelolaan. Demikian disampaikan Ketua Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) Bali, Dr. Agus Made Yoga Iswara, Minggu (26/3) menanggapi kritikan salah satu warga Italia yang viral di medsos dengan akun @Ban Maxi terkait Bali yang dijual terlalu murah.
Yoga Iswara mengatakan, dalam mewujudkan quality tourism bukan saja identik dengan harga jual yang mahal namun lebih tepatnya adalah value for money yang didukung oleh kualitas produk, pelayanan dan pengelolaan dalam mewujudkan kepuasan wisatawan. Namun, jika Bali tidak antisipasi terhadap gempuran disrupsi ini maka Bali akhirnya akan babak belur juga.
Menurut Yoga Iswara, banyak masalah lainnya akan timbul ke depannya, dikarenakan tata kelola dan regulasi yang dimiliki sudah tidak sebanding dengan gempuran masalah global yang akan datang atau mungkin sudah ada di lingkungan kita. Hanya saja banyak yang belum sadar. Saat ini bisa menjadi momentum terbaik untuk melakukan evaluasi dan upgrade tata kelola serta regulasi pariwisata Bali, terkait do dan don’t bagi wisatawan.
Tujuannya, agar aturan yang perlu disosialisasikan semuanya jelas, terintegrasi, sistematis serta dapat menyasar dan dipatuhi oleh seluruh wisatawan yang berkunjung apalagi di dukung dengan platform yang berbasis digital. “Jangan lupa destinasi yang bertanggung jawab akan menarik wisatawan yang bertanggung jawab, dan begitu juga sebaliknya,” ujar Dr. Yoga Iswara yang juga dosen IPB International.
Bali saat ini sedang dalam proses pemulihan (70% – 80 %). Di saat Bali sedang berproses penyembuhan, kondisi ekonomi global mengalami krisis.
Banyak negara mengalami inflasi sehingga daya beli warganya makin berat. Dengan demikian, Bali menjadi semakin atraktif bukan saja bagi kalangan yang ingin berwisata, namun juga banyak yang ke Bali untuk bertahan hidup.
“Sejujurnya Bali belum siap dengan gempuran disrupsi ini. Bali tidak mungkin menjual nasi jinggo yang harganya dari Rp5.000 menjadi Rp50.000 agar dianggap sebagai destinasi mahal. Apalagi dalam tourism kita tidak mengenal diskriminasi harga yang vulgar,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)