Putu Rumawan Salain. (BP/kmb)

Oleh Putu Rumawan Salain

Pemahaman kata penyelamatan pada tulisan ini lebih ditekankan pada upaya pendataan, pemetaan, perlindungan dan akhirnya pemanfaatan. Sedangkan Warisan Budaya dibatasi pada objek budaya fisik “tangible” seperti produk arsitektural yang memiliki nilai penting dan khusus, baik berupa sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan.

Selanjutnya jika objek warisan tersebut telah berusia 50 tahun dapat diusulkan dan atau dimasukkan ke dalam batasan Cagar Budaya atau diduga Cagar Budaya yang memenuhi kriteria dan melalui suatu proses penilaian oleh tenaga ahli, khususnya yang berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan.

Selengkapnya dapat dirujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya. Tebaran maupun asset warisan budaya berupa cagar budaya maupun calon cagar budaya dalam khasanah arsitektur di Bali sungguh mengagumkan, selain banyak dijumpai masih dalam keadaan terawat dan masih dimanfaatkan oleh masyarakat, umum disebut living monument. Seperti misalnya rumah tradisional Bali di daerah dataran maupun pegunungan, tempat persembahyangan “pura” baik berupa pura : Kahyangan Jagat, Kahyangan Tiga, Swagina, dan Kawitan.

Baca juga:  Komitmen Menjaga Identitas Bali

Objek-objek fisik tersebut di atas dilengkapi dengan cerdas melalui menata lanskap alam berupa bentangan sawah yang berundag-undang, danau, sungai, hutan, pantai, juga dilengkapi dengan penataan wilayah desa lengkap ruang-ruang publik berupa pasar “peken”, kuburan “setra”, subak, hingga bale banjar. Kesemuanya dirancang dengan hubungan timbal balik dan secara holistik guna mendukung keberlanjutan kehidupan dan
penghidupan masyarakatnya yang mayoritas
dalam lingkungan budaya air “agraris”.

Objek-objek tersebut di atas, jikalaupun ada perubahan dalam fungsi, bentuk dan maknanya masih dipertahankan. Atau ada juga perubahan dalam bentuk namun bertahan dalam fungsi dan makna. Oleh karena waktu yang bersekutu dengan iklim akan mendegradasi bahan maupun kekuatan struktur, serta pewarnaannya maka diperlukan tindakan atau prosedur penanganannya agar tidak keluar dari keasliannya.

Perubahan iklim ditengarai akan sangat memengaruhi perubahan hingga kerusakan sebuah objek. Penanganannya dapat dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi, preservasi, revitalisasi, hingga konservasi, khususnya bagi objek yang telah terduga sebagai Cagar Budaya.

Baca juga:  Belajar Melalui Komunitas Belajar

Jumlah Warisan Budaya berupa objek Cagar Budaya di Provinsi Bali atas dasar data yang dikutip dari laman Bisnis.com menuliskan bahwa pada tahun 2017 yang lalu terdapat 34 buah terdiri dari 3 situs, 1 struktur 1 bangunan, dan 29 benda. Pada tahun 2018 jumlah bertambah menjadi 159 dengan rincian 8 berupa situs, 4 struktur, 14 bangunan, dan 133 benda.

Tahun berikutnya yakni di tahun 2019 tercatat tambahan Cagar Budaya lagi 56 buah terdiri dari 3 situs, 15 struktur, 1 bangunan, dan 37 berupa benda. Total sepanjang 3 tahun lalu terdapat 249 buah Cagar Budaya. Kini di tahun 2023 ini tentu sudah bertambah lagi jumlahnya.

Jumlah tersebut tentu sangat mungkin bertambah sesuai dengan perkembangan waktu ataupun keunikan dan kekhususan yang dimiliki oleh suatu objek fisik “arsitektural”. Jika membicarakan warisan Budaya Bali secara umum dari kedahuluannya hingga kini,
seharusnya bersyukur karena beberapa objek fisiknya telah tercatat sebagai warisan budaya dunia yaitu, Cultural Landscape Subak Bali (Termasuk 5 destinasi Warisan Dunia).

Baca juga:  LPD Cermin Pemajuan Kebudayaan Bali

Berikutnya Unesco pada Konferensi Geopark Eropa
ke-22 di Geopark Auroca, Portugal pada 20 September 2012 telah menerbitkan sertifikat Global Geoparks Network untuk Kaldera Gunung Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Untuk kepentingan pelestarian dan manfaat bagi masyarakat di sekitar kawasan pemahaman dan perilaku konservasi untuk tidak mengubah bentang alamnya sangat diperlukan.

Konservasi Kawasan Geopark menjadi kata kunci agar
sertifikat tidak dicabut karena setiap empat tahun di evaluasi oleh Unesco. Pemerintah Kabupaten Bangli bekerja sama dengan Universitas Udayana untuk mata anggaran tahun 2022 telah melakukan studi untuk menata ulang “kembali” dengan memasukkan lebih banyak desa-desa yang ada di sekitar Kawasan Kaldera Gunung Batur.

Dengan memperhatikan uraian di atas secara singkat dapat dinyatakan bahwa warisan budaya apa saja, khususnya wujud fisik arsitektur oleh karena usia, sejarah, nilai, keunikan merupakan warisan yang menguatkan tentang identitas sehingga jati diri menjadi jelas.

Penulis, Arsitek Pengamat Tata Ruang dan Budaya.

BAGIKAN