Oleh I Gusti Ketut Widana
Setelah ditelisik, enam rangkaian rerainan Tumpek dalam satu putaran pawukon (210 hari sekali), ternyata berujung pada dimensi eskatologis, bahwa kehidupan itu pada akhirnya menuju kematian, tepatnya kembali pada-Nya. Dimulai Tumpek Landep sebagai penciri utama kelahiran manusia dengan kelengkapan
“idep” (pikiran) selain “bayu” (gerak) dan “sabda” (suara).
Melangsungkan kehidupan, pikiran manusia kemudian tumbuh berkembang melahirkan gagasan melestarikan alam melalui Tumpek Bubuh sehingga terwujud kesejahteraan dan kemakmuran yang diperingati saat Tumpek Kuningan. Setelah hidup sejahtera dan makmur tidak lupa mengekspresikan rasa kasih sayang kepada sesama manusia melalui Tumpek Krulut dan juga hewan lewat Tumpek Kandang.
Ujungnya, melalui Tumpek Wayang, manusia disadarkan bahwa perjalanan hidupnya pasti akan berakhir, kembali pada Tuhan “Sang Dalang Agung” yang selama kehidupan berlangsung “memainkan” peran dan karakter setiap orang.
Benar kata John Calvin dalam teori “Predestinasi”, “semua kejadian di alam semesta ini adalah atas kehendak Tuhan, sehingga apapun yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari ketentuan-Nya.”
Secara teologis, Tuhan adalah Mahakuasa, sedangkan seluruh ciptaan berada dalam penguasaan-Nya. Jadilah
manusia, yang meskipun mempunyai kehendak bebas lewat gerak pikirannya, tak ubahnya seperti sosok wayang, menjalani karma dalam skenario Sang Dalang
Agung lengkap dengan drama kehidupan beserta dinamika dan problematikanya.
Setiap manusia tinggal menjalani, menikmati dan patut mensyukuri apapun yang menjadi bagian kehidupannya
sesuai bawaan catur bekel: mendapat suka, tak lepas
dari duka, terkadang tertimpa lara, sebelum akhirnya
berujung pati — kematian.
Melalui Tumpek Wayang (29 April) manusia diingatkan bahwa Tuhan selaku “Dalang Agung” adalah sang penulis skenario, pengatur lakon, pemberi peran, lalu memainkan setiap tingkah polah manusia bagaikan klebatan Wayang, baik dalam konteks adegan bikin happy, dalam kondisi ironi, penuh tragedi atau bersuasana komedi, hingga pentas berakhir, semuanya kembali masuk keropak (kotak kematian).
Oleh karena itu menonton Wayang yang sarat tuntunan, setiap orang bisa merefleksikan sang diri. Melalui Wayang, manusia dapat bercermin tentang eksistensi dan aktualisasi dirinya di panggung kehidupan. Wayang
pada hakikatnya adalah personifikasi penokohan tentang karakteristik setiap manusia dalam kehidupan nyata.
Wayang juga sebagai media pencarian jati diri dengan mengidentifikasi tokoh-tokoh pewayangan. Melalui Wayang, juga dapat introspeksi berkenaan tentang apa, siapa dan bagaimana kesejatian sang diri.
Begitu tinggi dan luhurnya kandungan nilai religius ritual Tumpek Wayang, yang dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon Wuku Wayang, sepatutnya tidak diandaikan seperti kibasan Wayang yang begitu usai pertunjukkan langsung masuk keropak, seolah tamat tanpa amanat.
Histori kehadiran Wayang sebagai lokal wisdom ini, tidak semata-mata ditampilkan sebagai media ekspresi berkesenian belaka. Melalui Wayang tersimpan juga misi suci, inspirasi religi, motivasi imani yang mampu mengeskalasi sang diri ke arah peningkatan kualitas rohani (bhakti). Ini berarti, Wayang tidak boleh lagi dipandang sebagai bayang-bayang ilusi yang sarat sensasi fantasi atau kreasi imajinasi tanpa tepi, tetapi sebuah refleksi diri dari eksistensi manusia dengan beragam pola aksi.
Maka, menonton Wayang sesungguhnya sama dengan berkaca, melihat diri sendiri. Dari padanya terpantul kesejatian diri. Wayang adalah cermin, menunjukkan
apa adanya tentang diri sendiri, tampak asli, murni tanpa imitasi. Ternyata, manusia itu memang Wayang, tetapi tidak lagi sebagai bayang-bayang, melainkan hidup dalam kenyataan lengkap dengan segala sifat, watak, atau karakter beserta peran/lakon yang dimainkan dalam keseharian.
Sadar bahwa manusia itu seperti Wayang yang diatur Tuhan sebagai Sang Dalang Agung, maka menjadi kewajiban setiap insan untuk selalu bercermin pada sikap dan perilaku para tokoh dalam Wayang yang sebenarnya merepresentasikan diri sendiri. Apakah kita
seperti Dharmawangsa sang pengemban dharma, bagaikan Bima yang mengandalkan kekuatan, ala Arjuna ksatria cerdas nan bernas atau menjadi sosok
Nakula-Sahadewa sebagai perlambang kebijaksanaan.
Bisa juga lebih dominan mengekspesikan karakter Korawa dengan stigma adharmanya, atau tipikal Sakuni dengan kelicikannya, dan seterusnya. Melalui cermin Wayang, semua pertanyaan di atas terjawabkan, bahwa sejatinya manusia itu adalah Wayang yang pada akhirnya akan kembali pada Tuhan – Sang Dalang Agung.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar