INDONESIA meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index –GEI) pada 9 Agustus 2022 lalu. Dalam laporan GEI Indonesia yang diinisiasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terlihat ada kecenderungan peningkatan dan adanya sinergitas antarpilar. Sejauh mana peran perbankan dalam mewujudkan ekonomi hijau ini?
Ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi transformasi ekonomi Indonesia, yang ditetapkan Kementerian PPN/Bappenas, dalam upaya mencapai visi Indonesia 2045 dan dinyatakan sebagai pengubah permainan (game changer) bagi Indonesia dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 dan menuju arah pembangunan berkelanjutan. GEI Indonesia memberikan gambaran pencapaian dan skor Indonesia dalam transformasi menuju ekonomi hijau. Laporan GEI Indonesia akan diintegrasikan ke dalam dokumen pembangunan nasional, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam peluncurannya yang dilakukan saat pertemuan ketiga Development Working Group (DWG) terkait presidensi G20 Indonesia di Nusa Dua itu menyebutkan, GEI Indonesia menjadi tolok ukur pencapaian Indonesia dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau. Menurut Suharso Monoarfa, ekonomi hijau memiliki prinsip utama menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus mendorong kesejahteraan sosial dan menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan.
Fokusnya pada peningkatan investasi hijau, pengelolaan aset dan infrastruktur yang berkelanjutan, dan memastikan transisi yang adil dan terjangkau serta memberdayakan sumber daya manusia. GEI Indonesia menghitung skor Indonesia dalam transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dengan melihat perbandingan kemajuan dari indikator terhadap nilai minimal dan target maksimal, yang ingin dicapai.
Nilai minimal indikator berdasarkan data historis Indonesia dari acuan terendah, sedangkan nilai maksimal didasarkan target yang sudah dicantumkan dalam Visi Indonesia 2045 dan target dalam model Low Carbon Development Initiative (LCDI) 2045 untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Adapun rentang waktu data histori GEI Indonesia mulai 2011 sampai 2020.
Terdapat 15 indikator dalam GEI Indonesia, yang mencakup tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang mencerminkan pembangunan ekonomi hijau. Pilar ekonomi terdiri atas enam indikator, antara lain, intensitas emisi, intensitas energi, dan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.
Sementara itu, pilar sosial mencakup empat indikator, yakni tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, angka harapan hidup, dan rata-rata lama sekolah. Sementara pilar lingkungan meliputi lima indikator, yaitu tutupan lahan, lahan gambut terdegradasi, penurunan emisi, sampah terkelola, dan energi baru terbarukan. Laporan GEI Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan dan adanya sinergitas antarpilar.
Adapun transisi ekonomi hijau dinyatakan dapat memberikan beragam manfaat bagi Indonesia, di antaranya, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050. Lalu penurunan intensitas emisi hingga 68 persen di tahun 2045, penyelamatan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 87-96 miliar ton selama rentang 2021-2060, dan penambahan lapangan kerja di sektor pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) bagi 1,8 juta tenaga kerja pada 2030.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menerangkan, GEI menjadi upaya Bappenas dalam mengukur performa pembangunan menuju ekonomi hijau. Secara umum, pencapaian indikator-indikator pada pilar ekonomi dan pilar sosial terukur lebih tinggi dibandingkan pencapaian indikator pada pilar lingkungan.
Meski demikian, menurut Medrilzam, kondisi Indonesia sudah mengindikasikan perbaikan dan pembangunan menuju ekonomi hijau berada pada jalur yang sesuai. ”Kondisi Indonesia tidaklah jelek. Performa pembangunan ekonomi hijau Indonesia menunjukkan tren meningkat dalam 10 tahun,” ujar Medrilzam saat itu.
Anggota DPR, yang juga Sekretaris Kaukus Ekonomi Hijau Parlemen dan Komisioner Low Carbon Development Initiative (LCDI), Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan, pembangunan rendah karbon juga berpeluang menciptakan lapangan kerja di sektor pekerjaan hijau, berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan ekstrem, dan berkontribusi dalam mengurangi emisi GRK maupun polusi air dan polusi udara. Roro juga menyatakan pentingnya kerja sama dan sinergi pemerintah dengan parlemen dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.
Motor Transisi
Lalu di mana peran perbankan dalam hal ini? Menurut Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Didit Widiana dalam acara “Edukasi Makroprudensial Perkembangan Sistem Keuangan Indonesia Terkini” secara virtual, belum lama ini, Bank sebagai lembaga penyedia dana menjadi motor transisi menuju ekonomi hijau. “Untuk memenuhi target penurunan emisi karbon, Bank harus meningkatkan porsi kredit hijau, sehingga perusahaan non-hijau akan mengalami hambatan akses keuangan,” ujarnya.
Jika terdapat kebijakan perbankan yang mengatur, ia percaya debitur bank akan melakukan penyesuaian proses bisnis, investasi hijau atau membeli kredit karbon untuk mendapatkan pembiayaan yang lebih kompetitif
dari bank.
Sementara Bank Indonesia yang diberi mandat menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, lanjutnya, bertugas membuat kebijakan makroprudensial yang akan memastikan peran perbankan itu bisa terwujud. “Kebijakan Makroprudensial Hijau memberikan insentif kepada perusahaan hijau. Dengan demikian akan mendorong perusahaan untuk beralih dari brown firms (istilah untuk perusahaan yang belum menerapkan kebijakan ekonomi hijau atau berkelanjutan, red) menjadi green firms,” paparnya.
Dalam kebijakan ekonomi keuangan hijau ini, BI memisahkannya menjadi 4, yakni Loan to Value (LTV) Hijau, Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) Hijau, Insentif Makroprudensial Hijau, dan kebijakan hijau lainnya. Terkait LTV Hijau, terangnya, diberlakukan kebijakan uang muka KPR dan KKB Hijau dapat lebih rendah.
Sedangkan untuk RPIM Hijau, insentif diberikan jika ada pemenuhan RPIM melalui kredit dan subsidi selisih bunga (SSB) hijau. “Bank memberikan diskon suku bunga atas kredit hijau. Sementara untuk kredit coklat, bank bisa mengenakan premi suku bunga,” jelasnya.
Untuk Insentif Makroprudensial Hijau, kebijakan ini memberikan insentif bagi giro rupiah bank yang menyalurkan kredit hijau di Bank Indonesia. Sementara kebijakan hijau lainnya adalah peraturan yang dibuat di luar tiga jenis yang dimaksud.
Terkait penerapan ekonomi hijau, BRI sebagai salah satu BUMN merupakan yang getol dalam mengimplementasikannya. Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan, BRI mendukung aktif penyaluran permodalan terhadap pembiayaan berkelanjutan dan mendorong UMKM sebagai backbone utama bisnis perseroan untuk turut menerapkan prinsip ESG. Penyaluran kredit berkelanjutan BRI yang mencapai Rp657,1 triliun atau setara dengan 65,5% dari total portofolio kredit BRI pada Kuartal II-2022.
Di samping itu, sebanyak Rp74,7 triliun diantaranya disalurkan kepada pembiayaan hijau. Dukungan BRI dalam menyalurkan kredit berkelanjutan kembali dioptimalisasi melalui penerbitan Obligasi Berwawasan Lingkungan (Green Bond) Berkelanjutan I dengan total nilai mencapai Rp15 triliun dan dilakukan secara bertahap selama 3 tahun.
Sebelumnya, bank dengan jaringan terluas di Indonesia ini juga melakukan aksi korporasi penerbitan Sustainability Bond dengan nilai US$500 juta. Ada juga inisiatif “BRI Menanam” yang diestimasikan dapat menyerap 108.065 ton Co2 pada tahun ke-5 sejak program ini diluncurkan pada Agustus 2022 melalui penyaluran 1,75 juta bibit pohon kepada nasabah pinjaman, terutama KUR hingga 2023.
Angka tersebut berdasarkan proyeksi perhitungan dan asumsi rata-rata daya serap CO2 pohon produktif yang dibagikan dan ditanam dalam program BRI Menanam. Proyeksi penyerapan karbon tersebut juga telah memperhitungkan potensi mortalitas dari bibit pohon yang disalurkan. “Sampai dengan detail yang kecil-kecil, aktivitas BRI di kantor itu kami ukur emisi karbonnya berapa, dan kita komitmen untuk secara gradual menuju zero emisi karbon. Itu yang saya katakan green operation. Jadi, mencakup green asset, green liability dan green operation,” ujarnya belum lama ini.
Pada tahun 2017, World Resources Institute mencatat Indonesia menempati urutan ke-delapan sebagai negara penyumbang Gas Rumah Kaca terbesar di dunia. Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan angka emisi Gas Rumah Kaca, namun semua transisi menuju pembangunan rendah karbon dan net-zero emission memiliki risiko dan pembiayaan yang besar, terutama bagi investor dan pengusaha.
Menurut perhitungan Bappenas, Indonesia membutuhkan pembiayaan/ investasi di sektor berkelanjutan hingga 2030 sebesar Rp67.803 triliun. Hal ini menghadirkan peluang bagi industri jasa keuangan untuk terlibat, di mana semakin banyak investor yang mensyaratkan penanaman investasinya pada produk-produk investasi dan pembiayaan yang berkelanjutan.
Pada level negara Asia, termasuk di Indonesia, adopsi sistem keuangan berkelanjutan telah mulai berjalan. Beberapa lembaga keuangan di Indonesia misalnya, telah beralih dari investasi energi fosil kepada investasi bersih dengan penerapan program-program pendanaan untuk proyek-proyek pembangunan rendah karbon dan ramah iklim.
“Semakin diakui bahwa bisnis yang tidak sustainable, tidak dapat bertahan. Bisnis yang tidak memperhatikan kesejahteraan manusia dan planet akan semakin sulit mempertahankan profitabilitas dalam jangka panjang,” kata Glenn Hoetker, Professor of Business Strategy, Melbourne Business School and MBS Foundation Chair of Sustainability & Business dikutip dari rilisnya.
Dalam setiap survei, ditemukan bahwa semakin banyak organisasi yang mengintegrasikan sustainability ke dalam strategi bisnis mereka. Isu tersebut telah berpindah dari tepian kegiatan CSR menjadi isu bisnis inti yang menjadi pusat diskusi di ruang rapat perusahaan.
Sebuah survei tahun 2020 oleh PwC tentang ekspektasi untuk ESG menemukan bahwa, meskipun 83 persen konsumen harus secara aktif membentuk praktik ESG terbaik, 91 persen pemimpin bisnis melaporkan bahwa perusahaan mereka memiliki tanggung jawab untuk bertindak atas masalah ESG, dan lebih dari $51 miliar masuk ke ESG-impact funds pada tahun 2020, banyak konsumen dan eksekutif tidak yakin bahwa bisnis telah melakukan investasi yang cukup menuju praktik ESG yang lebih baik.
Adanya inti sustainability yang kuat tidak hanya baik untuk planet ini, tetapi juga penting untuk pertumbuhan bisnis dan profitabilitas. Investor semakin memperhatikan berbagai faktor seperti jejak karbon perusahaan, penggunaan air, upaya pengembangan komunitas, dan keragaman dewan direksi yang penting bagi proses pengambilan keputusan mereka.
Saat ini, lebih dari 40 persen arus investasi global didorong oleh ESG. Paradigma lama yang hanya berfokus pada nilai pemegang saham dan profitabilitas menyusut karena investor hanya berinvestasi di perusahaan yang memiliki praktik berkelanjutan yang kuat. “Dengan demikian, sustainability telah menjadi pusat dari semua operasi bisnis. Ini juga berlaku untuk Indonesia karena bank juga telah mengubah persyaratan pinjaman mereka untuk menerapkan pedoman dan prinsip ESG,” kata Profesor Hoetker.
Ini berlaku untuk hampir setiap industri, termasuk perusahaan pertambangan yang sekarang menjadi lebih hijau dengan mengurangi jejak karbon mereka. Dengan demikian, mereka tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga menaikkan harga saham mereka. (Diah Dewi/balipost)