Oleh Marjono
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi budaya. Apa itu budaya? Budaya adalah entitas nilai, laku, maupun karya yang diyakini dan ditransmisikan sebagai pedoman dalam berkehidupan bersama. Budaya menjadi bingkai totalitas pola hidup sekaligus pemuliaan harkat dan martabat manusia.
Maka kemudian, kebudayaan bermakna sebagai aktualisasi “budaya” yang diyakini dan disepakati bersama oleh masyarakat pada wilayah tertentu dalam menetapkan pola hidup dan tata kehidupan bersama. Aktualisasi budaya ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup; Menjamin keselamatan hidup; dan Meraih kebahagiaan hidup bersama.
Lalu lintas telinga kita acap mendengar atau filosofi Memayu Hayuning Bawana yang artinya kita harus bisa membuat kedamaian dunia. Dapat pula diartikan sebagai suatu bentuk atau upaya membangun dengan ramah lingkungan. Pengertian atau makna bahwa ajaran di dalamnya secara implisit adanya komitmen yang sangat kuat untuk menjaga, memelihara, atau menyelamatkan dunia beserta lingkungannya. Tantangan global Megatrend Dunia 2045, berupa demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam, perubahan iklim, kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, dan perubahan geo-ekonomi, akan membawa manfaat positif sekaligus menyebabkan dampak negatif.
Generasi milenial akan menjadi generasi yang telah menikmati kemudahan akses pemenuhan seluruh kebutuhan hidup; yang mewarnai perubahan sendi kehidupan, budaya dan peradaban umat manusia. Konsekuensi logis yang dihadapi, mereka dituntut untuk cerdas mengelola hidup dan kehidupannya. Berkaitan dengan kebudayaan, konstitusi mengamanatkan bahwa pengembangan budaya merupakan tanggung jawab negara, pemerintah dan masyarakat. Hakekat kebudayaan ini mencakup keseluruhan aspek hidup dan kehidupan umat manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Pelestarian karya budaya dengan nilai luhur yang terkandung pada khasanah budaya daerah berwujud apresiasi dan pemanfaatan karya dan nilai budaya dalam kehidupan. Kebijakan dan strategi pembangunan budaya mendasarkan pengarusutamaan nilai baik dan sehat budaya daerah sebagai pondasi pemajuan peradaban.
Ada 10 Objek pemajuan kebudayaan dan cagar budaya, yaitu: Tradisi Lisan; Manuskrip; Ritus; Teknologi Tradisional; Pengetahuan Tradisional; Olahraga Tradisional; Ragam Seni; Bahasa; Permainan Rakyat; dan Adat Istiadat. Teknokratik pemajuan budaya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat melek budaya. Untuk itu, kita dihadapkan pada tantangan, bagaimana mengelola kemerdekaan individu di tengah keberagaman dan keterbatasan literasi budaya. Selain itu, globalisasi dan komunikasi lintas budaya diyakini berdampak pada distorsi tata nilai budaya dalam kehidupan. Maka, strategi yang dilakukan adalah dengan membumikan spirit budaya melalui rumah budaya. Sedangkan aksinya, dilaksanakan dengan : penguatan peles-tarian perlindungan ragam budaya daerah; meningkatkan kualitas dan kuantitas literasi budaya daerah; serta memperluas akses literasi budaya daerah.
Kriteria melek budaya mencakup 3 point, yaitu: tepung, srawung, dan dunung. Tepung berarti mengenal nama karya budaya (bahasa, seni, dan obyek pemajuan kebudayaan lain serta cagar budaya); mengetahui ciri fisik karya budaya dan pemanfaatanya; serta memanfaatkan dalam arti luas karya budaya dalam kehidupan pemenuhan (sandang, pangan, papan); memakai; menggunakan; dan mendayagunakan. Srawung, artinya memahami ciri dan karakteristik ragam karya budaya; dapat membedakan ragam warisan budaya dalam kehidupan; memiliki kemauan untuk terlibat dan dilibatkan dalam aksi pemanfaatan ragam karya budaya; serta tumbuh rasa cinta budaya dan tampak dalam ekspresi diri dalam berkehidupan.
Sedangkan dunung bermakna memahami essensi ragam karya budaya dari aspek fisik maupun nilai dan pemanfaatnya bagi kehidupan; memiliki kesadaran untuk aktif melibatkan diri dalam aksi pelindungan dan pengembangan ragam karya budaya; kebijakan; pembiayaan; strategi/metode/media; dan pengayaan substansi karya budaya (inovasi).
Toleransi
Rumah budaya merupakan “atribut/predikat” bagi suatu tempat/lokasi/ruang maya yang secara faktual terjadi kegiatan/aktivitas berkebudayaan. Kebudayaan Nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah,” yang artinya seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia disatukan dalam sebuah kebudayaan Nasional. Hal ini diteguhakan dengan visi pembangunan nasional Indonesia 2020-2024, yakni Berdaulat, Maju, Adil Dan Makmur. Di dalamnya ada mandiri, toleransi, gotong royong, dan integritas, serta menjunjung kearifan lokal dalam interaksi edukasi, transaksi ekonomi, relasi sosial, serta derajat kesejahteraan rakyat.
Sedangkan pada lokus interaksi budaya, antara lain dalam keluarga; sekolah; rumah sakit; ibadah; pasar; cafe; pertunjukan; lokus komunitas; mall; kantor; destinasi; dan ruang maya. Esensi harmonisasi berkehidupan mencakup aktualisasi, harmoni, dan jati diri bangsa. Aktualisasi artinya mengaktualisasikan “budaya” (entitas nilai, laku maupun karya) untuk meraih kebahagian hidup bersama. Harmoni adalah sebuah bentuk gotong royong, antara hal berbeda hingga perbedaan tersebut melebur menjadi satu kesatuan yang luhur.
Budaya menurut Mulyana dan Rahmat (2006) adalah suatu pola hidup yang menyeluruh. Dimana budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Sehingga budaya merupakan hasil dari perpaduan kehidupan, adat istiadat dan norma yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Budaya sebagai tonggak peradaban membentuk identitas sebuah bangsa. Identitas budaya ini menjadi landasan untuk mengokohkan karakter bangsa. Hal itu dikatakan Fadli Zon, budayawan dan pemerhati seni yang tampil sebagai pembicara istimewa dalam Seminar Nasional “Jelajah Kreativitas Seni dan Budaya” di ISI Padang beberapa tahun silam.
Harmoni sangat dibutuhkan dalam memelihara keutuhan dan integritas wilayah serta integritas masyarakat Indonesia yang berbeda dengan cara komunikasi lintas budaya yang dipahami tidak hanya berhenti pada paham bahwa kita berbeda, lalu selesai. Akan tetapi lebih jauh, bagaimana kita menerima dengan ikhlas perbedaan tersebut sebagai jati diri bangsa agar tujuan berkehidupan yang makmur dan bahagia tercapai (Bhineka Tunggal Ika).
Point ini senada dengan pernyataan Bapak Presiden Joko Widodo pada Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) Desember 2018, bahwa kita tidak cukup hanya menjamin ketersediaan panggung ekspresi. Yang kita butuhkan adalah panggung interaksi yang bertoleransi karena, sekali lagi, inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Jika kita punya itu semua, meminjam istilahnya Buya Safii Maarif, sedikitnya kita tidak menjadi sosok yang tuna budaya.
Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng