JAKARTA, BALIPOST.com – Keamanan siber (cyber security) menjadi tantangan utama mengikuti perkembangan dalam industri teknologi finansial atau financial technology peer to peer lending (fintech P2P lending). Fintech P2P lending adalah layanan pinjam meminjam uang secara langsung antara lender atau pemberi pinjaman, dengan borrower atau penerima pinjaman berbasis teknologi informasi.
Saat ini jumlah fintech P2P lending berjumlah 102 platform, termasuk 7 merupakan platform dengan sistem syariah. Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan mengatakan, berdasarkan data dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), telah tercatat 976.429.996 serangan siber sepanjang tahun 2022.
Data tersebut menunjukkan masih perlunya penguatan keamanan dari perusahaan fintech dan regulator secara kontinyu. “Tantangan berikutnya penggunaan TI adalah potensi cyber risk, jadi memang BSSN sendiri, selama tahun lalu mencatat hampir 1 miliar dengan anomali traffic yang banyak dari aktivitas malware. Makanya, penyelenggara fintech harus melakukan penguatan mitigasi risiko dan penguatan dari sisi gate security system,” kata Bambang di Jakarta, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (16/5).
Selain itu, OJK mengimbau para pelaku bisnis fintech untuk tunduk pada UU No.27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Peningkatan keamanan dan mitigasi penyalahgunaan data pribadi dalam ekosistem fintech P2P lending harus diperkuat, mengingat banyaknya kasus pencurian data pribadi secara daring sepanjang tahun 2021-2022.
Lebih lanjut, Bambang menyebutkan tantangan-tantangan lain yang harus dihadapi seiring dengan berkembangnya industri fintech P2P lending. Dari sisi tata kelola dan manajemen risiko, perusahaan fintech P2P lending umumnya merupakan perusahaan rintisan (startup) yang didominasi pemuda dengan pengalaman yang minim.
Oleh karena itu OJK sebagai pengawas mengimbau harus para startup untuk memperkuat sistem pengendalian internalnya. Dari sisi keandalan sistem dan credit scoring, butuh keandalan sistem elektronik dan dukungan big data dan Artificial Intelegence (AI) yang lebih baik.
Kualitas credit scoring mampu menjadi kunci dalam menjaga kualtias pendanaan, sedangkan teknologi AI dapat membantu meningkatkan efisiensi dan akurasi proses tersebut.
Lebih lanjut, Bambang menambahkan, pemerintah telah membuat landasan hukum yang mengatur industri fintech P2P lending. Aturan itu tercantum dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mengatur reformasi, pengembangan, penguatan serta penyempurnaan regulasi, penataan kewenangan, penguatan koordinasi, serta mekanisme penanganan sektor jasa keuangan.
“Dengan dukungan penuh dari pemerintah, regulator, asosiasi dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan fintech dapat terus berkembang dan memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat,” pungkasnya. (Kmb/Balipost)