Faisal Basri. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kondisi sektor keuangan yang lemah menjadi salah satu faktor pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit untuk berlari kencang. Hal itu salah satunya terlihat dari pertumbuhan kredit di perbankan yang tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK).

Pengamat ekonomi Faisal Basri dalam acara Prospek Indonesia (Bali) Terkini yang diselenggarakan BPR Lestari pada Rabu (17/5) di Riverside Convention Center, Denpasar mengatakan, sampai triwulan I 2023, pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari 5%. Ekonomi mengalami perlambatan terus.

Meski demikian, pertumbuhan 5% tidak buruk karena pertumbuhan ekonomi dunia 3%-an, namun pertumbuhan 5% tidak cukup untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran. “Jadi jangan puas dengan 5%, tapi tidak ada lagi yang bisa dilakukan tahun ini,” ujarnya.

Ujung tombak pertumbuhan ekonomi adalah investasi namun pertumbuhan investasi melambat terus,walaupun di era Jokowi ada Menteri Investasi ditambah adanya Omnibus law. Investasi yang sebelumnya tumbuh di atas 5%-6%, saat ini pertumbuhan investasi berdasarkan data BPS hanya 2%-3%.

Selain itu, dari 15 jenis industry (lapangan usaha), 7 diantaranya mengalami kontraksi pada triwulan I 2023. Kontribusi industry itu pun turun ke level terendah sepanjang sejarah yaitu 18,3%.

Baca juga:  Desa Adat Sema Gading Bangun dan Renovasi Sejumlah Palinggih Pura

Kondisi-kondisi itu menurutnya terjadi karena sektor keuangan lemah. Menurutnya, Indonesia tidak bisa melompat mencapai pertumbuhan tinggi jika kondisi sektor keuangannya lemah.

Penyaluran kredit sektor keuangan khususnya perbankan lemah karena perbankan diberikan kesempatan membeli surat utang negara yang bunganya 6%-7%. “Ongkosnya jadi nol kan, jadi bank tidur saja. Sedangkan suku Bunga tabungan hampir nol%. Sedangkan uang kita dipakai bank untuk beli SUN,” ungkapnya.

Dengan membeli surat utang negara (SUN), maka penyaluran kredit ke pelaku usaha rendah. Akibatnya dunia usaha tidak terbantu. Padahal dunia usaha pasca pandemi Covid-19 memerlukan dukungan perbankan untuk pulih lebih cepat, namun hal itu tidak dilakukan perbankan. Sedangkan BPR tidak membeli SUN, namun justru menyalurkan kredit ke pelaku usaha.

Kondisi ekonomi tersebut didukung dengan tingkat inflasi yang rendah yaitu 4% dan terus mengalami penurunan. Inflasi ini mendorong penurunan suku Bunga yang mulai turun. Kondisi di dalam negeri tahun ini juga akan dipengaruhi kondisi politik jelang Pemilu, karena menurutnya ada 9 Menteri nyaleg, nyapres, dan nyawapres serta 1 menteri ditangkap. “Jadi hampir mustahil untuk mengharapkan ekonomi berlari kencang di tengah ekonomi sekarang. Banyak yang engga peduli, dan engga ada keajaiban sampai pemilu,” ujarnya.

Baca juga:  Kondisi Bangsa Kini Tak Sesuai dengan Cita-cita Kemerdekaan

Kondisi ini akan mempengaruhi kinerja masing-masing kementerian terutama dalam membangun ekonomi. “Tahun ini akan lebih buruk, siapa yang ngurus ekonomi. Kalau dulu, Menteri Nyaleg, Nyapres, itu mundur, agar kerja-kerja buat rakyat engga direcoki dengan kerja-kerja politik,” ujarnya.

Sementara kondisi eksternal ekonomi Indonesia mengalami instabilitas akibat dari nilai tukar rupiah terhadap dolar. Data terakhir menunjukkan nilai tukar rupiah terhadap dolar mendekati 15.000. Di samping itu, instabilitas nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh kepemilikan SUN oleh investor asing, sehingga ketika SUN Indonesia dijual maka nilai tukar rupiah semakin instabil.

Untuk itu Jokowi mengajak negara-negara di ASEAN untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika dengan menggunakan mata uang negara yang ada di ASEAN. “Jadi China, kekuatan alternatifnya agar tak tergantung pada Amerika karena Amerika mulai ugal -ugalan. Yang paling banyak beli surat utang Amerika adalah China dan Jepang, tapi China sudah menjual USD 421 miliar Surat Utang Amerika, dan itu mempengaruhi ekonomi kita,” ujarnya.

Baca juga:  Simak Kisah Inspiratif Pebisnis Muda yang Berwirausaha Sejak Kuliah

Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK Kantor Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara Ananda R. Mooy mengatakan, pertumbuhan kredit lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan DPK. Penyaluran kredit mencapai Rp 99,62 triliun atau tumbuh 3,46% (yoy), lebih tinggi dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya sebesar 2,85% (yoy).

Pertumbuhan kredit Maret 2023 juga lebih tinggi dibandingkan posisi Februari 2023 yang sebesar 3,13% (yoy). Pertumbuhan kredit Bank Umum di Bali sebesar 3,42% (yoy), sedangkan BPR mencapai 3,74% (yoy). “Kredit lebih banyak disalurkan ke sektor perdagangan,” ujarnya.

Sementara itu penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp 146,38 Triliun atau tumbuh double digit yaitu 22,86% (yoy), tumbuh lebih tinggi dibandingkan posisi yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,77% (yoy). Namun, pertumbuhan DPK Maret 2023 sedikit lebih rendah dibandingkan posisi Februari 2023 yang tumbuh sebesar 23,58% (yoy). (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN