Oleh : I Gusti Ketut Widana
Ajaran Catur Marga memberikan pilihan fleksibel bagi umat Hindu dalam menjalani hidup atau bahkan mencapai tujuan akhir kehidupan. Karena merupakan pilihan, keempat jalan ini tidak harus ditempuh
semuanya.
Sangat tergantung pada tingkat pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan level kerohanian umat. Idealnya memang dapat dilaksanakan, tak ubahnya seperti anak tangga pendakian spiritual. Mulai dari jalan karma, praktiknya tergolong mudah bahkan murah.dan bersifat alamiah yang seringkali dilakukan lewat kegiatan ngayah (kerja tanpa upah). Meningkat ke jalan bhakti, umumnya diwujudkan dalam bentuk sembah.
Kedua jalan ini (karma dan bhakti) seolah sudah menjadi satu paket lumrah yang tak dapat dipisah pelaksanaannya. Apa yang namanya ngayah sekaligus dianggap sebagai bukti sembah. Artinya, hanya dengan ngayah umat sudah merasa melakukan sembah (bhakti)
kehadapan-Nya. Beranjak ke tingkatan “Jnana”, sebagai penuntun jalan “melajah”, meski umat kurang begitu bergairah membelajarkan diri.
Apalagi masih kental pengaruh “gugon tuwon anak mule keto”, menjadikan proses “malajahang raga” nyaris tak mendapat ruang dan waktu. Belum lagi jika merujuk implementasi Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, tampak sekali praktik keagamaan umat Hindu lebih mengedepankan urusan “Acara” dengan upacara dan upakara yadnya-nya.
Sedangkan ranah “Tattwa” masih jauh dari sentuhan lantaran dianggap “sulit”, semisal dalam pemahaman teologi, filosofi, mitologi, dll., yang sarat paradogma. Begitupun dengan kancah “Susila” (etika), sepertinya
sudah dianggap include pada setiap perbuatan
umat dalam keseharian.
Sehingga cenderung tidak mendapat porsi berlebih dalam hal pembinaan kesusilaan/etika umat di tengah situasi dan kondisi gaya hidup masyarakat kontemporer saat ini yang semakin sekuler.
Bertambah “berat” lagi ketika mencoba menapaki puncak pendakian spiritual melalui “Yoga”, yang diyakini sebagai jalan mencapai “moksah”, dengan penekanan pada sadhana (disiplin rohani) tapa-brata-yoga-samadhi. Menjadikan umat semakin menjauh dari capaian obsesi “bersatunya” Sang Atman pada Brahman (Brahman Atman Aikyam). Patut disadari, titik lemah keberagamaan umat Hindu terletak pada ranah “Jnana” (Tattwa/widya) penguasaan pengetahuan kerohanian (nirwrti marga), yang dalam teks disebut “Awidya” diliputi kegelapan atau kebodohan.
Padahal sebagaimana suratan kitab suci Sarasamuscaya, 39 dikatakan Sanghyang Weda (kitab suci Hindu) sangat takut bila didekati orang-orang yang sedikit pengetahuannya (baca : bodoh). Sloka Sarasamuscaya, 177 pun menegaskan bahwa guna kitab Weda adalah untuk dipelajari, bukan hanya “dibantenin” saat hari suci Saraswati.
Menyadari kelemahan mendasar pada Jnana/Tattwa/Widya, serangkaian pelaksanaan hari suci Sanghyang Aji Saraswati, yang diperingati setiap Saniscara Umanis wuku Watugunung (210 hari sekali), penting sekali umat Hindu digugah kesadarannya dalam
hal “malajahang raga”, membelajarkan diri meningkatkan pengetahuan dan pemahaman ajaran agamanya.
Tidak cukup hanya bermomdal tulus ngayah dan iklas sembah (bhakti) tetapi juga sebaiknya mampu beragama cerdas, sebagaimana tersirat didalam kitab
suci Bhagawadgita, IV.34 : “pelajarilah itu (agama) dengan sujud disiplin (ilmu), dengan bertanya dan kerja berbhakti (sembah); orang yang berilmu, mereka melihat kebenaran, akan mengajarkan (mencerdaskan) kepadamu pengetahuan itu”. Bahkan pada sloka Bhagawadgita, IV.36 dijanjikan: “walau seandainya
engkau paling paling berdosa diantara yang memikul dosa; dengan perahu ilmu pengetahuan ini lautan dosa engkau akan sebrangi”.
Sudah saatnya, aktivitas hari suci Saraswati tidak boleh lagi berhenti di tataran ritualistik simbolik ekspresif, hanya sebatas sebagai peringatan hari turunnya ilmu pengetahuan. Diharapkan sekali dapat terus berkembang menjadikannya sebagai momentum kesadaran Jnana-Tattwa-Widya. Bergerak dari tataran ritual menuju kecerdasan intlektual.
Kata “Saraswati” itu sendiri yang berarti “memiliki sifat mengalir”, telah mengamanatkan bahwa peringatan hari “turunnya” Weda (pengetahuan suci) bermakna sebagai proses pendakian dari kancah ritual menuju ranah intelektual sebelum nanti berlanjut menuju dan mencapai puncak kesadaran spiritual.
Tak salah jika kemudian, Ch.Y.Glock dan Rodney Stark (1989) menyatakan, ibadah agama (termasuk hari suci Saraswati) tidak semestinya dipersempit pengertiannya hanya sebatas aktivitas ritual belaka, tetapi harus
diperluas maknanya meliputi unsur: intelektualitas, spiritualitas dan juga moralitas.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar