Dsk Gd Prita Widia Wiriyanti, SST. (BP/Istimewa)

Oleh Dsk Gd Prita Widia Wiriyanti, SST.

Dari sekian banyak generasi muda di Bali yang beragama Hindu di sekolah, kemungkinan tidak semua mempunyai kemampuan untuk membuat banten. Apalagi saat ini sudah banyak sekali penjual banten, mulai dari yang paling sederhana yaitu dagang canang hingga penjual banten untuk upacara yang besar, seperti mlaspas maupun odalan di merajan masing-masing atau di pura sekalipun.

Proyeksi penduduk Provinsi Bali tahun 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk Bali sebanyak 4,4 juta jiwa, dengan asumsi sekitar 80 persen beragama Hindu, maka ada sekitar 3,5 juta penduduk beragama Hindu. Data terkait ketenagakerjaan dari BPS juga menyebutkan bahwa penduduk Bali usia 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun 2022 sebanyak 2,6 juta jiwa atau sekitar 72 persen, dengan jumlah pekerja laki-laki dan perempuan
yang hampir sebanding (55 persen dan 45 persen).

Dari 2,6 juta jiwa, sebanyak 43 persen berstatus
buruh atau karyawan dalam pekerjaannya (status
pekerjaan lainnya adalah berusaha atau pekerja
bebas). Masyarakat yang memiliki status pekerjaan sebagai buruh atau karyawan ini berarti bahwa mereka memiliki jam kerja yang tetap yang sudah diatur oleh kantor atau perusahaan tempat mereka bekerja.

Baca juga:  Cupak Raja Abal-Abal

Sebagai karyawan tentunya mereka memiliki jatah cuti yang terbatas. Dengan demikian, masih sempatkan generasi muda Hindu Bali ini untuk belajar membuat banten? Banten adalah sarana persembahyangan
umat Hindu yang “wajib” pada saat pelaksanaan
upacara keagamaan.

Tradisi ini tumbuh dan berkembang dengan sangat baik dan kuat. Tidak pernah ada yang meninggalkan hingga saat ini. Akan terasa ada yang kurang jika banten yang
diperlukan dalam suatu upacara tidak lengkap.

Belajar membuat banten kebanyakan berasal dari rumah sendiri. Kurikulum di sekolah mungkin menyelipkan sedikit tapi hanya belajar membuat yang sederhana, seperti canang sari dan kwangen. Generasi zaman sekarang kemungkinan ada dua kategori, yaitu orangtua bekerja sehingga tidak sempat mengajari anaknya membuat banten atau orangtua bekerja dengan waktu fleksibel atau tidak bekerja sama sekali, sehingga masih sempat mengajarkan membuat banten, terutama untuk anak perempuannya.

Banyak kasus juga dimana anak muda bekerja zaman sekarang tidak tinggal di kampung halaman, tapi memilih untuk indekos yang dekat dengan tempatnya bekerja. Hal ini menyebabkan intensitas bertemu dengan orangtua menjadi semakin sedikit, jadi pelajaran
membuat banten pun tertunda.

Baca juga:  Benahi PP Standar Nasional Pendidikan

Mereka cukup sembahyang dengan bunga saja di tempat kosnya. Ada juga kasus keluarga baru dengan anggota bapak, ibu, dan anak yang juga tidak tinggal di kampung halaman karena tinggal di kota yang lebih dekat dengan tempat kerjanya. Seorang menantu perempuan tanpa bimbingan mertua akan sulit
belajar membuat banten sesuai adat di rumah
suami.

Karena biasanya perempuan menikah akan menemukan sedikit perbedaan banten di rumah suami dengan di rumah orangtuanya dulu. Berbagai kondisi ini sedikit demi sedikit akan berpengaruh dalam mengurangi jumlah generasi muda yang bisa membuat banten. Kalau ada niat pasti ada jalan. Jaman sekarang semua orang menggunakan media sosial dari gadget nya, apalagi generasi muda, pasti tidak bisa lepas dengan smartphone nya.

Tentunya hal ini bisa dimanfaatkan untuk belajar membuat banten. Di media sosial seperti facebook atau youtube sudah banyak channel yang memuat konten membuat sarana persembahyangan dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit.

Baca juga:  Pemimpin Diharapkan Berkomitmen Selesaikan Berbagai Persoalan Bali

Pada waktu belum maraknya smartphone, seperti sekarang ini, orangtua kita dulu mencatat dan menggambar berbagai jenis upakara di buku tulis untuk mengingat. Buku-buku tentang jenis upakara pun banyak yang tersebar hanya dengan tulisan tangan dan gambar-gambar sederhana untuk memperlihatkan bagaimana penataan banten-banten tersebut.

Bagaimana dengan sekarang? Mita bisa langsung memfoto dan menambahkan catatan di smartphone. Jauh lebih mudah. Bahkan kita juga bisa membuat video sendiri tentang bagaimana alur membuat dan merangkainya menjadi sebuah sarana upakara yang utuh. Cukup sekali foto dan video, kita bisa memutarnya berulang-ulang jika kita lupa.

Belajar membuat banten memang seperti bukan hal yang “wajib” lagi untuk dilakukan, karena sudah banyak penjual banten yang bisa menyediakan berbagai kebutuhan upakara yang diperlukan. Namun, adat dan tradisi tidak lantas bisa ditinggalkan begitu saja. Sebagai generasi muda paling tidak kita bisa membuat banten sederhana seperti canang dan segehan yang dipakai untuk sehari-hari.

Penulis, Pegawai BPS Kabupaten Badung, Mahasiswa Pascasarjana ITS Surabaya.

BAGIKAN