Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Hari suci Pagerwesi sejatinya masih menjadi bagian dari rangkaian Piodalan Sanghyang Aji Saraswati, yang kemudian secara berturut-turut dilanjutkan dengan rerainan Banyu Pinaruh, Soma Ribek, dan Sabuh Mas. Di balik pelaksanaan ritualistik simboliknya, ternyata keempat rangkaian upacara yadnya itu sarat makna yang tentunya wajib diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Uraian maknanya, diawali hari suci Saraswati (Saniscara Umanis wuku Watugunung), saat turunnya ilmu pengetahuan. Sesuai sifatnya, ilmu pengetahuan itu terus mengalir tak ubahnya seperti aliran sungai yang kemudian bermuara di samudera pusat peleburan segala bentuk kekotoran (sarwa mala).

Untuk mendapatkan dan lanjut menguasai ilmu pengetahuan, diperlukan kesiapan, dan kesadaran yang antara lain dilakukan melalui penyucian diri, seperti tersurat di dalam kitab Manusmrti: “Badan dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran, roh dengan ilmu dan tapa dan akal dengan kebijaksanaan”.

Peristiwa penyucian diri itu kemudian disimbolisasikan melalui ritual Banyu Pinaruh (Minggu/Redite Pahing wuku Sinta), yang secara tradisi dilakukan dengan cara
“malukat” di laut (segara), atau sumber air lainnya. Sekaligus sebagai pertanda umat sudah mendapatkan aliran ilmu pengetahuan sebagai anugerah Sanghyang Aji Saraswati, Dewinya Ilmu Pengetahuan dan Saktinya
Dewa Brahma. Ilmu pengetahuan itu, meliputi
ilmu kerohanian (parawidya/nirwrti/paradogma) maupun pengetahuan keduniawian
(aparawidya/prawrti/ paradigma) yang dapat
disinergikan amalannya sebagai bekal umat
berkehidupan.

Baca juga:  PPKM Level IV, Persembahyangan Pagerwesi Dibatasi

Baru kemudian memperoleh hasil berupa
kesejahteraan, ditandai dengan ritual lanjutan
yaitu rerainan Soma Ribek (Senin/Soma Pon wuku Sinta). Hari yang dipercaya sebagai datangnya karunia/anugerah (amertha) dari Bhatari Sri (kesuburan) dan Laksmi (kesejahteraan) yang tiada lain Sakti Dewa
Wisnu selaku pemelihara kehidupan segenap makhluk, terutama manusia. Wujudnya, terpenuhinya kebutuhan pangan, terutama beras, sehingga rerainan Soma Ribek seringkali dianggap sebagai Hari Pangan ala Bali.

Berlanjut kemudian kehidupan manusia semakin meningkat hingga merasakan apa yang namanya kemakmuran. Hal ini lalu diekspresikan melalui pelaksanaan ritual Sabuh Mas (Selasa/Anggara Wage wuku Sinta), disebut juga odalan artha brana (kekayaan), hari suci pemujaan Dewa Mahadewa sebagai tanda syukur atas kelimpahan harta dan barang-barang berharga seperti perhiasan, khususnya
berbahan logam mulia emas sebagai simbol
kemakmuran bahkan kemuliaan.

Baca juga:  Politik, Bantaran Kali dan Pengelolaan Sampah

Setelah amalan ilmu pengetahuan (dan teknologi) berhasil mengantarkan kehidupan umat pada tingkat kesejahteran dan kemakmuran, maka yang diupayakan selanjutnya adalah penguatan iman. Pada pelaksanaan
hari suci Pagerwesi itulah umat diingatkan untuk terus melakukan peneguhan, pengamanan dan penguatan iman (sradha).

Merujuk lontar Sundarigama, ritual Pagerwesi yang dilaksanakan pada Rabu/Budha Kliwon Sinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga, lengkap dengan senjata masing-masing sebagai pengaman: Dewa Wisnu (Chakra), Sambhu (Trisula), Iswara (Bajra),
Mahéswara (Dupa), Brahma (Gada), Rudra (Moksala), Mahadéwa (Nagapasa), Sangkara (Angkus), Siwa (Padma). Tentunya dalam konteks kekinian senjata-senjata tersebut dapat ditransformasi sebagaimana halnya “piranti” yang dapat dipergunakan dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan saat ini
yang semakin kompetitif.

Dimulai dari senjata yang paling fundamental, esensial hingga modal moral, yaitu: 1) keteguhan sradha (iman), 2) ketulusan bhakti (amal), 3) kesucian hati dan pikiran, 4) perkataan yang baik dan benar, 5) perbuatan yang bermanfaat, 6) kasih sayang terhadap semua makhluk terutama sesama manusia, 7) kejujuran dan kesetiaan, 8) ilmu pengetahuan dan teknologi (jnana/widya/kabisan), dan jangan lupa ke-9) kebijaksanaan (wiweka/wijnana) dalam mengimplementasikannya agar sejalan dengan amanat ajaran Tuhan.

Baca juga:  ”Lubdhaka” Musim Pemilu, Memburu Kekuasaan

Ternyata rangkaian hari suci Saraswati-Pagerwesi tidak sekadar momen berlangsungnya ritual keagamaan, lebih dari itu menjadi semacam algoritma Hindu dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan yang hanya
bisa diselesaikan dengan amalan ilmu dan pengamanan atau penguatan iman (sradha). Tanpa ilmu dan amal, bisa jadi terjadi pelemahan iman, akibat cobaan dan berbagai ujian kehidupan yang seringkali menjerumuskan atau bahkan menyesatkan.

Singkatnya, tanpa ilmu dan amal serta iman, niscaya kehidupan umat tidak akan imun apalagi aman, baik dari
sisi kehidupan duniawi maupun kerohanian.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN