Dr. I Made Sudarma, M.S. (BP/Wir)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menjaga kawasan hulu untuk kelestarian alam lingkungan demi keberlangsungan hidup di Bali sangat penting dilakukan. Komitmen ini pun dilaksakan oleh Pemerintah Provinsi Bali di bawah kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster secara sakala – niskala.

Secara niskala dilakukan melalui upacara Wana Kerthi pada Rahina Tumpek Wariga. Upacara ini dilakukan sebagai upaya untuk memperkuat dan memberikan ruang kepada umat Hindu untuk memuliakan lingkungan. Apalagi, Gubernur Koster telah mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 06 Tahun 2022 tentang Perayaan Rahina Tumpek Wariga dengan Upacara Wana Kerthi sebagai implementasi Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2022 tentang Tata-Titi Kehidupan Masyarakat Bali Berdasarkan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sad Kerthi Dalam Bali Era Baru.

Akademisi/Pengamat Linkungan, Dr. I Made Sudarma, M.S., mengapresiasi komitmen dan langkah Gubernur Koster dalam pelestarian alam lingkungan dengan menjaga kawasan hulu Bali melalui upacara Wana Kerthi. Menurutnya, Wana Kerthi adalah upaya untuk menjaga kesucian atau kelestarian hutan dan pegunungan yang dibedakan dalam tiga jenis hutan. Yaitu, Maha Wana (hutan rimba yang masih asli dan belum tersentuh manusia), Tapa Wana (hutan suci tempat dimana para yogi membuat pusat pertapaan atau pesraman untuk yoga mereka), dan Sri Wana (kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai sumber kemakmuran ekonomi.

Untuk menjaga kesucian, kelestarian dan keberlanjutan Wana Kerthi secara sakala dapat dilakukan dengan menghormati, memelihara, mempertahankan dan menjaga keseimbangan hutan, gunung dan ekosistem lainnya yang ada di daerah hulu agar tidak rusak atau habis oleh perilaku manusia untuk tujuan ekonomi semata. Eksploitasi ekosistem di daerah hulu akan mengurangi jasa lingkungan yang dihasilkan oleh ekosistem tersebut dan ini menjadi ancaman yang sangat serius dalam menuju keberlanjutan Bali di masa depan. Sebab, rusaknya ekosistem hutan akan mengurangi jasa lingkungan hutan sebagai penyediaan (makanan, keanekarabagam hayati), pengaturan (pengaturan iklim, air, dan tanah), budaya sebagai tempat pendidikan dan rekreasi, maupun sebagai penunjang dalam bentuk produksi primer dan siklus hara.

Baca juga:  Residivis Congkel Rumah PNS di Perumahan Griya Asri

Diungkapkan, berbagai bencana alam yang terjadi selama ini termasuk yang dialami oleh Bali sendiri, seperti banjir, erosi, longsor dan lainnya akan selalu dimulai dari daerah hulu. Itu artinya fungsi ekologis eksosistem di daerah hulu tidak berberjalan dengan baik akibat berbagai sebab.

Berbagai sebab tersebut diantaranya adalah adanya alih fungsi hutan baik dalam kawasan maupun diluar kawasan hutan, pemanfaatan daerah aliran sungai (DAS) untuk berbagai peruntukan dari areal terbuka menjadi areal nya bisa tertutup oleh bangunan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi, dan lainnya yang menajdikan fungsi ekosistem di daerah hulu tidak bekerja dengan baik. Jasa lingkungan ekosistem hutan dan DAS tidak mampu lagi berfungsi dengan baik, sehingga di saat musim hujan berbagai bencana alam terjadi.

Curah hujan yang ekstrem sebagai salah satu indikator perubahan iklim sering dijadikan “kambing hitam” pada setiap terjadinya bencana hidrometeorologi. Dikatakan, di level provinsi yang bisa dilakukan dalam mengendalikan terjadi bencana alam akibat perubahan ikim adalah upaya mitigasi dan adaptasi.

Bentuk upaya mitigasi yang paling mudah dilakukan adalah mempertahankan dan melestarikan keberadaan hutan serta mencegah terjadinya deforestisasi (kerusakan hutan). Perilaku masyarakat, investor dan juga kebijakan pemerintah hendaknya janganlah bersifat kontraproduktif apabila ingin mengendalikan bencana alam.

Baca juga:  Di Tabanan, 12.638 Wajib Pajak Belum Bayar Pajak Kendaraan

Pada tataran pengambil kebijakan, pengendalian perijinan yang berkaitan dengan perubahan pemanfaatan ekosistem hendaknya dilakukan secara hati-hati melalui kajian yang komprehensif. Perubahan pemanfaatan hutan dan DAS untuk investasi yang lebih mementingkan keuntungan ekonomi semata sangat mudah terjadi dan itu harus dikendalikan.

Bencana alam yang terjadi tetap dipandang sebagai bencana semata sehingga harus disediakan anggaran dengan nilai yang tidak kecil dan bahkan dialokasikan dari anggaran yang tidak terduga. Penganggaran tersebut hanya menyelesaiakn masalah di tingkat hilir (penerima dampak) untuk menunjukkan kepedulian kemanusiaan.

Bencana banjir, longsor, erosi yang hampir setiap tahun terjadi sudah saatnya masalah ini diselesaikan di sumber dampak atau penyebab dampak karena akan semakin mengurangi dampak yang terjadi dari tahun ke tahun dan dapat menghemat anggaran yang sangat besar.

Untuk itu, maka kembalikan substansi Wana Kerthi dalam tataran implementasi yang sesungguhnya baik secara sekala maupun niskala untuk kembali melestarikan dan menjaga ekosistem di daerah hulu dan tidak sebatas pada jargon semata. Memahami dan mengoptimalkan jasa lingkungan hutan dan ekosistem lainnya di daerah hulu secara ekonomi akan dapat menjaga hutan terjaga dari deforestasi karena hutan dapat memberikan pemasukan yang cukup bagi negara dan masyarakat.

Dekan Fakultas Pertanian Unwar, Ir. Dewa Nyoman Sadguna, M.Agb., mengakui bahwa kebijakan untuk menyelamatkan alam Bali oleh pemerintahan saat ini sudah ada. Terbukti dengan dirumuskannya visi pembangunan Bali saat ini, yaitu “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” yang mengandung makna menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya untuk mewujudkan kehidupan krama Bali yang sejahtera dan bahagia, sekala-niskala menuju kehidupan krama dan gumi Bali sesuai dengan prinsip Trisakti Bung Karno yakni berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan.

Baca juga:  Desa Penghasil Arak dan Sektor Pariwisata Dukung Hari Arak Bali

Namun demikian, tentu kebijakan yang dituangkan dakam visi pelbangunan Bali ini harus diimplementasikan dengan konsisten dan kerja nyata untuk meminimalkan terjadinya bencana alam dibeberapa kawasan di Bali. Seperti, baru-baru ini terjadi bencana banjir besar di daerah Jembrana, juga bencana tanah longsor di Bangli, Karangasem, dan Buleleng.

Menurutnya, bencana tanah longsor dan banjir di beberapa kawasan Bali mencerminkan betapa sangat mendesaknya perhatian kita semua untuk menjaga lingkungan alam kita yang telah dirumuskan dalam filosofi keharmonisan yang bersifat universal, yaitu Tri Hita Karana (harmoni kepada Tuhan Yang Maha Esa, harmoni kepada sesama, dan harmoni kepada alam).

Selain juga disertai dengan pengawasan yang ketat terhadap perambahan kawasan hutan lindung dan mengurangi pemanfataan hutan produksi. Mengawasi dengan ketat alih fungsi lahan yang sungguh luar biasa di Bali. “Semua regulasi yang telah ada agar dilaksanakan dengan konsisten dan bertanggungjawab,” tandas Nyoman Sadguna.

Sadguna, mengatakan bahwa isu strategis pembagunan Bali sejak beberapa tahun sampai saat ini adalah alih fungsi lahan, permasalahan penanganan sampah, dan lalu lintas jalan raya yang sering mengalami kemacetan. “Kita boleh berbanga dengan jumlah investasi, jumlah wisatawan, PAD yang meningkat, income per kapita meningkat, tapi jangan lupa dengan perhatian yang kuat kepada peningkatan kualitas alam lingkungan Bali yang memberikan kenyamanan dan menyejahterahkan,” tegasnya. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN