Prof. Dr. Ir. Made Antara, M.S. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Menjadi provinsi yang berdaulat pangan merupakan visi yang sangat layak didukung semua pihak. Salah satu wujud kedaulatan pangan adalah pengutamaan, terserapnya produk beras dari petani Bali. Untuk itulah ketika wacana ini dilontarkan Gubernur Bali, Wayan Koster, dengan menolak beras impor masuk Bali, apresiasipun diberikan disertai sejumlah usulan strategi mencapai kedaulatan pangan tersebut.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Prof. Dr. Ir. Made Antara, M.S., Rabu (24/5) mengapresiasi gagasan atau ide pembelian beras petani untuk mendukung kedaulatan pangan, namun implementasinya diakui cukup sulit, rumit dan ribet, karena terkait dengan waktu, anggaran, personal, dan operasional, yang mana tugas ini telah dilaksanakan oleh Bulog.

Bulog memiliki tugas terkait penyediaan beras yang cukup untuk masyarakat melalui pembelian gabah petani dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang terus disesuaikan setiap tahun, stabilisasi harga beras di pasar, distribusi beras untuk program pemerintah, pengawasan dan pengendalian mutu beras, dan pengembangan sektor perberasan.

Jika gagasan ini diimplementasikan, Gubernur atau Bupati harus membuat rencana kerja setiap tahun terkait dengan pembelian gabah atau beras petani dan membentuk Satuan Tugas Khusus (satgassus) pembelian dan penyimpanan beras petani di seluruh Bali dalam rentang waktu satu tahun karena musin panen yang berbeda antarwilayah kabupaten di Bali. “ASN tidak mungkinlah dimobilisasi sebagai Satgassus karena ASN sudah memiliki Tupoksi tersendiri melayani masyarakat di bidang administrasi dan pembangunan,” ujarnya.

Baca juga:  Sertijab ke Penjabat Gubernur Bali Digelar Tertutup

Upaya mewujudkan Bali berdaulat dalam bidang pangan, menurut Antara dilakukan dengan menyediakan anggaran yang cukup untuk melakukan pembelian dan lanjut menyiapkan penyimpanan dan pemeliharaan pada beberapa gudang yang pada suatu waktu didistribusikan kembali ke masyarakat. Tugas ini sudah menjadi Tupoksi Bulog dalam rangka penyediaan beras yang cukup bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau.

Kedaulatan pangan sesungguhnya tidak hanya penyediaan pangan dari produk setempat tanpa impor. Konsep ini merujuk kondisi di mana suatu negara memiliki kontrol dan kekuasaan atas produksi, distribusi, dan konsumsi pangan dalam wilayahnya.

Kata kuncinya kontrol atas produksi, distribusi dan konsumsi. Menurutnya, Indonesia dan provinsi-provinsi di Indonesia termasuk Provinsi Bali sudah berdaulat di bidang pangan. Artinya petani sudah menguasai produksi bebas menjual setiap saat kepada siapapun yang dianggap harganya layak tanpa tekanan dari siapapun.

Baca juga:  "Ngrastiti Bhakti" Gubernur Koster Diapresiasi, Langkah Tepat Bentengi Warga Bali “Sekala-Niskala”

“Jangan sekali-sekali mengartikan kedaulatan pangan, semua kebutuhan pangan harus dipenuhi dari produksi sendiri. Ini namanya gagal paham. Oleh karena itu gagasan pembelian beras petani dalam rangka mendukung kedaulatan pangan tidak relevan, karena petani Bali sudah berdaulat di bidang pangan, dan operasionalisasi gagasan tersebut sudah dikerjakan oleh Bulog,” tandasnya.

Sementara Guru Besar Pertanian Unud Prof. I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Rabu (23/5) mengatakan, kedaulatan pangan, pemenuhan hak manusia akan pangan yang berkaitan dengan gizi yang baik dan sesuai budaya lokal dan terjangkau. Hal ini yang memang perlu difokuskan pemerintah. Sementara gagasan atau ide membeli gabah petani itu merupakan Sebagian dari upaya pemerintah untuk mencapai ketahanan pangan dan keamanan pangan tapi belum menyentuh ke kedaulatan pangan. Proses menuju kedaulatan pangan cukup panjang.

Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, harus diperkuat sistem agribisnisnya mulai dari hulu ke hilir yaitu mulai dari penyediaan input, sistem produksi, sistem pengolahan, dan sistem pemasaran. Harus ada perencanaan dari pemerintah untuk memperkuat sistem agribisnisnya. “Saya kira di Bali peranan subak sebagai penyedia padi dan beras, lembaganya sudah kuat dan sekarang bagaimana pemberdayaannya,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus Rabies Menurun Pertengahan 2020

Selama ini sistem produksi di Bali sudah cukup kuat dengan adanya subak. Tidak hanya soal produksi, dengan adanya subak juga terbangun ikatan sosial budaya. Sementara dari sistem pemasaran dengan sistem tebasan, jarang yang menjual dalam bentuk olahan. Sehingga dari sisi pemasaran perlu ditingkatkan.

Menurutnya dengan sistem tebasan cukup membantu petani karena petani membutuhkan perputaran uang yang cepat dan sistem tebasan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hanya saja, sistem tebasan terkadang membuat daya tawar petani lemah terhadap penebas sehingga perlu peran pekaseh.

Satu lagi, yang perlu diperhatikan adalah, petani tidak hanya diminta berproduksi tapi juga diberikan insentif ketika harga di tingkat konsumen tinggi, agar petani bergairah untuk berproduksi. Selama ini pemerintah dikatakan telah melakukan upaya tersebut seperti pemberian subsidi pupuk, perbaikan jaringan irigasi (sarana prasarana diperbaiki), selain itu petani juga perlu mendapatkan insentif dari sisi harga output. (kmb/balipost)

 

BAGIKAN