I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Masyarakat Bali mengenal cerita seorang janda menjadi target pembunuhan. Kisah janda yang terkucil ini lazim disaksikan penonton pada teater Calon Arang, sebuah seni pertunjukan yang banyak diminati masyarakat Bali. Sang janda, menjadi figur sentral pijakan lakon dan elaborasi dramatikal tata estetis-artistik pementasannya. Dikisahkan, wanita janda yang dituding masyarakat sebagai penganut teluh leak tersebut, bertempat tinggal di tepi desa Dirah. Akan tetapi kenapa ia menjanda, siapa gerangan laki-laki bekas suaminya, jarang dituturkan dalam dramatari yang diduga sudah dikenal pada abad ke-16, era Dalem Waturenggong.

Memang, kenapa ia harus ditumpas oleh penguasa, Raja Airlangga, bukan karena kejandaannya, melainkan teror dan horornya yang mencengkeram rakyat. Namun demikian, nyatanya, kejandaannya tersangkut erat pada julukannya dalam drama of magic ini sebagai Walu Nateng Dirah atau Rangda Nateng Dirah. Walu, balu, dan rangda (bahasa Bali alus) mengacu pada istilah janda.

Bila sebagai Rangda Ing Dirah (janda dari Dirah) dalam pertunjukan Calon Arang, wanita tua ini, berposisi antagonis, tetapi dalam psiko-relegi dan transenden-mitologis kepercayaan Hindu di tengah masyarakat Bali, identifikasi berwujud Rangda diusung wingit. Rangda sebagai sungsungan, disakralnya di tempat suci, umumnya di Pura Dalem sebagai simbol pemujaan Dewi Durga, sakti Hyang Siwa, dewa pelebur. Karena itu, dalam pagelaran Calon Arang serangkaian dengan ritual, di mana Rangda disakralkan dengan sebutan takzim Ida Ratu Ayu atau Ratu Batari Ayu, misalnya, pada umumnya ditampilkan masolah napak pertiwi dengan tatapan penuh rasa bakti komunitasnya. Wujud Rangda sebagai Bhatari Durga dipercaya menganugerahkan rahmat, meruwat segala mala untuk keharmonisan jagat dan kedamaian segenap kehidupan. Biasanya penampilan Rangda dalam konteks ini tidak lagi dibatasi oleh bingkai kalangan pementasan, tapi keluar melanglang penjuru ruang, sembari mengumandangkan ucapan-ucapan bertuah magis.

Baca juga:  Mendeteksi Sinyal Lemah Pariwisata Bali

Janda sakti yang dalam pengkarakterannya lazim disebut Matah Gede, dikenal dengan nama Ni Calonarang. Karakter Matah Gede dibawakan oleh penari pria, melukiskan nenek renta pemberang. Transvetis—membawakan peran berlawanan jenis kelamin—ini, mengokohkan Ni Calonarang sebagai janda jantan, karena, keberaniannya yang tak memiliki urat takut berseteru hidup mati melawan penguasa. Pementasan dramatari Calon Arang menunjukkan bagaimana Si Janda Dirah berupa siluman seram-bengis mengerang berperang menghadapi Taskara Maguna, patih andalan Raja Airlangga.

Terancam mati hangus oleh senjata sakti Mpu Bharadah pun, Ni Calonarang tak gentar, seperti dapat disaksikan dalam lakon Ngeseng Waringin yang mengisahkan akhir hidup janda bernyali besar ini. Walau rahasia ilmu hitamnya telah disingkap Bharadah, ia tak menyerah. Sumpah serapahnya menggugat kesewenang-wenangan Raja Airlangga, mengguntur dengan seluruh lubang tubuhnya mengeluarkan api murka berkobar dahsyat.

Hikayat yang termuat dalam Lontar Calon Arang, bersifat semi sejarah dengan latar kejadian abad ke-11, era pemerintahan Raja Airlangga di Jawa Timur. De Calon-arang (1926), adalah teks sastra Calon Arang terpenting yang ditranskripsikan dalam bahasa Jawa Tengahan oleh Poerbacaraka dan telah diterjemahkan oleh Dr. Soewito Santoso dengan judul Calon Arang Si Janda dari Girah (1975).

Baca juga:  Konsep Tri Daya Merdeka Belajar

Selain dari sumber sastra yang berbentuk prosa itu, Gaguritan Calonarang dalam tarikan puisi pun menjadi acuan signifikan banyak mengilhami dan menggiring para seniman seni pertunjukan. Pulau Bali menjadi persemaian subur kisah pemberontakan janda sakti ini, dalam beragam ekspresi seni budaya. Kuat diduga, bayang-bayang mistik yang diwarisi dan menghinggapi alam pikiran masyarakat Bali hingga di era sekarang, distimulasi karena begitu merasuknya keberadaan cerita Calon Arang yang bertransmisi secara turun temurun dalam seni pertunjukan Calon Arang.

Dalam transformasinya sebagai dramatari yang dipandang angker, terjadi suatu reproduksi sebutan tokoh yang mengkristal menjadi suatu identitas tersendiri yaitu Rangda itu sendiri. Di tengah masyarakat Bali, Rangda dimaknai sebagai suatu simbol religius-sakral. Etimologi rangda berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu randa yang berarti janda.

Interpretasi estetik-artistik pada wujud Rangda itu sungguh unik-otentik nan ikonik. Kedua bola matanya melotot keluar, empat taringnya menyembul ke atas dan ke bawah disertai lidah menjulur panjang hampir menyapu tanah. Rambutnya yang subur gombrang dengan buah dada yang menjuntai, dan dilengkapi kuku tajam pada sepuluh jari tangannya, menunjukkan keseluruhan penampilan Rangda begitu menyeramkan. Namun bila diperhatikan secara seksama, perwujudan perupaan Rangda dapat dibagi tiga.

Ada perwajahan muka atau tapel Rangda yang disebut nyinga, yaitu bentuknya agak menonjol ke depan bagaikan singa yang dikatagorikan berkarakter buas. Dikenal pula muka Rangda nyeleme, yaitu menyerupai wajah manusia agak lebar, menunjukkan sifat agung berwibawa. Terakhir adalah prerai (muka) Rangda pada umumnya yaitu berwujud raksasa yang menakutkan. Sebagai benda yang disakralkan oleh masing-masing komunitasnya, Rangda sungguh dikawal kesuciannya.

Baca juga:  BUMDes dan Solusi Menekan Pengangguran

Kehadiran Rangda profan–dibuat hanya sebagai benda seni–kini tak bisa dipungkiri keberadaannya. Rangda sudah dipertontonkan dalam pentas seni turistik sejak tahun 1940-an. Bahkan belakangan, Rangda banyak diadopsi sebagai bagian dari atraksi sejumlah seni kerakyatan di belahan timur dan tengah pulau Jawa yang secara salah kaprah dan gebyah latah disebut tari leak. Rangda souvernir komersial pun berarak semarak di art shop dan pasar seni.

Walau demikian, hakikat Rangda sebagai sebuah pengejawantahan aura teo-mitologi, mengakar kuat pada psiko-relegi-artistik masyarakat Bali. Rangda dalam makna janda sama sekali tak berelasi dalam posisinya sebagai simbol nirmala-filosofis yang dikeramatkan. Dalam pagelaran teater Calon Arang, Rangda Nateng Dirah dikaitkan secara vertikal sebagai pemuja Dewi Durga. Namun, secara empirik, status wanita janda di tengah masyarakat kita tak mesti dituduh penganut ilmu hitam. Akan tetapi, ketegaran wanita Bali pada umumnya yang berprototipe pekerja keras, kiranya tampak linier dengan kateguhan dari kengototan Ni Calonarang dalam menegakkan martabat dirinya. Kajian atau garapan seni reinterpretatif dengan elaborasi tokoh Rangda Dirah, kini, ikut menelorkan perspektif feminimisme, penghormatan terhadap harkat kaum wanita, tentunya juga termasuk janda.

Penulis adalah Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN