Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Juni adalah bulan Bung Karno. Bung Karno selalu identik dengan perjuangan dan politik, utamanya yang bersifat revolusioner. Tidak banyak yang tahu, Bung Karno adalah seniman, pengagum seni sekaligus kolektor berkelas. Bung Karno “memiliki” sekitar 2.200 koleksi lukisan, patung, dan keramik yang sebagian besar terpajang di enam Istana Kepresidenan RI.

Namun koleksi yang berbau “revolusioner” justru kurang dari 10 persen. Sementara lebih dari 90 persen koleksi barang seni Bung Karno tersebut berkaitan tentang manusia/wanita, lanskap, lingkungan, alam benda, dan bunga. Hal ini sesuai dengan yang dilansir Agus Dermawan T., konsultan koleksi benda seni Istana Kepresidenan.

Harus diakui koleksi lukisan Bung Karno sulit tertandingi oleh para kolektor sampai hari ini. Soekarno sendiri juga dikenal sebagai pemburu karya seni berkelas. Di sela-sela kunjungan kenegaraan maupun kunjungan ke daerah-daerah di Indonesia, Presiden Soekarno selalu menyisihkan waktu untuk berburu lukisan, patung, maupun karya seni rupa yang lain. Saat berkunjung ke Bali menyempatkan mampir ke rumah seni Le Mayeur de Mefres di Sanur. Ketika di Ubud selain menemui Rudolf Bonet, juga menghayati Ida Bagus Made Poleng saat berkarya, mengagumi lukisan karya Anak Agung Gde Sobrat, maupun menyaksikan pameran lukisan di studio Walter Spies.

Baca juga:  Gedung VVIP Bandara Ngurah Rai Sesuai Ajaran Trisakti Bung Karno

Pengaruh jiwa seni Soekarno juga membuat para perupa Indonesia bangga menciptakan karya seni rupa khas Indonesia. Hal ini termanifestasi dalam karya pematung Edhi Sunarso yang didaulat Soekarno untuk membuat patung landmark di Jakarta; seperti Patung Selamat Datang, Monumen Pembebasan Irian Barat, dan Monumen Dirgantara. Soekarno meyakini bahwa patung pada suatu ruang luar/taman dan patung sebagai suatu monumen merupakan karya seni rupa yang “menjemput publik”. Patung-patung tersebut adalah suatu karya seni yang paling demokratis; karena dimiliki/dinikmati oleh semua orang, Boleh dipandang, ditafsir, dan dinilai oleh siapapun.

Bung Karno juga menjadikan enam Istana Kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali sebagai rumah kebudayaan. Bung Karno memperlakukan karya seni rupa koleksinya dengan cara yang luar biasa. Beliau mendatangkan seniman, kurator, ahli tata pamer handal, dan konservator ke Istana; seperti Lee Man Fong, Lim Wasim, dan Dullah. Saat pelukis Arie Smit berkunjung ke Istana Kepresidenan Bogor, dia berujar menaruh hormat kepada Soekarno sebagai Sang Maecenas kesenian. Demikian juga dengan Kwok Kian Chow selaku Direktur Singapore Art Museum menyatakan bahwa, semua koleksi Soekarno menakjubkan; Indonesia harus bangga memiliki presiden yang sekaligus bapak kebudayaan.

Baca juga:  Melindungi Ketahanan Pangan

Kebudayaan pada prinsipnya merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia, dan karenanya hanya bisa dicetuskan dengan proses belajar (Koentjaraningrat, 1974). Kebudayaan pada dasarnya selalu memiliki unsur-unsur yang bersifat universal. Sayangnya, di negeri ini lembaga kebudayaan kian meredup karena kita ingin mengkuantifikasi segala hal dalam bentuk perhitungan untung-rugi (profit) jangka pendek, bukan manfaat (benefit); yang bisa jadi baru kita rasakan dalam jangka panjang. Segala hal seakan ditakar dengan uang. Tentu saja tidak bisa roh dan jati diri diperlakukan demikian.

Baca juga:  Revitalisasi Fondasi Demokrasi

Bung Karno menyatakan “Kreasi kultural yang berbentuk kesenian janganlah dianggap sekadar sebagai hiburan, sebagai hulpmiddel voor de lol (alat besuka-suka) saja. Karena sesungguhnya kesenian adalah sumber utama dari kerja penguatan jiwa dan pengayaan wawasan. Semua itu adalah bagian esensial dalam proses nation building”. Jika menggunakan gaya retorika Bung Karno, apakah kita ingin bangsa yang tanpa kebudayaan. Akan hilang kegairahan hidup berbangsa dan bernegara. Negara akan menjadi tak lebih seperti Perseroan Terbatas semata. Statesmanship menjadi tradership, zona kebudayaan akan menjadi bak toko kelontong.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN