I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat komoditas yang  mengalami peningkatan harga atau memicu inflasi di Denpasar dan Singaraja pada Mei 2023 antara lain daging ayam ras maupun Canang Sari, selain air kemasan, daging babi, bawang merah, telur ayam ras, sawi hijau, pasta gigi, rokok kretek filter dan tongkol diawetkan (BP, 6/7). Merujuk https://id.m.wikipedia.org › wiki › Inflasi  berarti suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus.

Dampak buruknya menyebabkan nilai uang menurun sehingga daya beli masyarakat menjadi lebih rendah. Masyarakat akan kesulitan membeli barang-barang yang dianggap penting karena harganya terus naik.

Pertanyaan awam, mengapa Canang Sari memicu inflasi? Kesannya seperti  “tidak bagus” bagi sebuah aktivitas religi/keagamaan (yadnya) yang menjadi kewajiban mendasar bagi umat Hindu, tetapi ternyata memberi dampak buruk bagi perekonomian masyarakat secara umum.

Bahkan pernah dirilis melalui media di waktu lalu, disebutkan untuk sektor non-makanan, keperluan upacara agama dan adat terbukti menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Bali dengan menempati urutan kedua setelah perumahan. Tentu sangat tidak elok didengar press release demikian, meskipun memang begitulah fakta statistik sebagai alat ukur tingkat inflasi di suatu daerah.

Baca juga:  Perempuan, Pendidikan, dan Kebijaksanaan

Sebagaimana diketahui, Canang Sari merupakan salah satu sarana persembahan/persembahyangan umat Hindu yang hampir setiap hari diperjualbelikan di pasaran. Canang Sari sudah menjadi semacam komoditi untuk memenuhi kebutuhan ritual umat Hindu di Bali, seiring pemenuhan kebutuhan konsumsi berupa makanan dan minuman, selain perumahan.

Pulau Bali sendiri dengan mayoritas penduduk pemeluk Hindu dalam praktik keagamaannya memang didominasi ritual, dengan segala perlengkapan upacara/upakara bebantennya, tak terkecuali Canang (salah satunya disebut Canang Sari). Bahan pokok Canang Sari, selain wadah (ceper) yang dibuat dari janur (busung), yang tak kalah penting adalah bunga, buah dan unsur lainnya.

Secara filosofis, ritual yadnya bertujuan mengharmoniskan alam (bhuwana agung- bhuwana alit). Hanya saja pada kenyataannya sumber daya alam Bali semakin lama kian menipis, mengarah krisis, kritis dan lama-lama tentu bisa habis. Efek domino yang kini sudah terasa,  keperluan perlengkapan  upacara  kian tidak mudah didapat, apalagi saat frekuensi  aktivitas ritual berlangsung  beruntun atau bersamaan. Belum lagi kalau aktivitas yadnya tergolong rerainan gumi (jagat) seperti Galungan dan Kuningan dengan segala rangkaiannya, volume kebutuhan  upakara bebanten semakin meningkat. Dampaknya berujung pada ketersediaan bahan baku ritual yadnya seperti janur, buah, bunga, dll semakin meninggi juga.

Baca juga:  Masyarakat Jangan "Panic Buying" Hadapi COVID-19, Dampaknya Seperti Ini

Solusinya, mendatangkan dari luar Bali yang berdasarkan data lalu lintas kendaraan barang masuk Bali melalui Pelabuhan Gilimanuk di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Cekik disebutkan rata-rata tiap hari kendaraan yang membawa janur saja dari Pulau Jawa tercatat antara 50 – 100 ton, belum lagi bunga, buah, termasuk ayam, bebek, telur, kelapa, dll. Cara lain mengatasi kekurangan janur, sudah lumrah diganti dengan ibung atau bahkan daun lontar yang juga didatangkan dari luar Bali. Lalu, Bali dengan mayoritas pemeluk  Hindu sebagai pelaku yadnya dengan tujuan mengharmoniskan alam, bagaimana hasilnya?

Sedikit mengevaluasi penggunaan unsur alam dalam konteks ritual, ternyata dari sisi penggunaan/pemanfaatannya mengikuti hitungan deret ukur, sementara pertumbuhan dan upaya pelestarian sumber daya alamnya memakai hitungan deret hitung. Dengan kata lain, penggunaan unsur-unsur alam untuk kebutuhan ritual bergerak cepat secara revolusi, sedangkan aksi penanaman, perawatan dan pemeliharaan lingkungan alam berjalan secara evolusi. Jelas saja terjadi ketimpangan antara kebutuhan dengan ketersediaan, yang terus berlangsung dengan tidak seimbang. Sehingga terjadi apa yang disebut disharmoni, tidak beriringannya antara konsep ideal ritual dalam konteks environmental.

Baca juga:  Dilema Penegakan Hukum Saat Pandemi

Aktivitas ritual umat Hindu yang tiada henti sepanjang hari  telah membawa dampak bagi daya dukung alam Bali yang tampaknya tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan bahan  baku yadnya. Akibatnya, ketika permintaan  meningkat tetapi ketersediaan barang, seperti halnya Canang Sari sedikit akibat bahan baku terbatas, tentu memicu kenaikan harga alias inflasi. Semoga saja inflasi secara ekonomi berkorelasi positif bagi peningkatan kualitas sradha dan bhakti umat. Karena itu perlu sekali membangun konsep baru yang disebut “ekoligi” — mensinergikan aksi pelestarian alam dalam setiap aktivitas religi, khususnya terkait ritual yadnya.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN