Oleh Ida Bagus Nyoman Dedy Andiwinata, S. H.
Perempuan perlu ditanya tiga kali untuk sampai pada keputusannya berpartisipasi dalam politik, dibanding laki-laki. Frances Scott, seorang aktivis sekaligus pendiri 50:50 Parliament di Inggris menilai keraguan demikian berhubungan dengan imposter syndrome.
Imposter syndrome adalah istilah untuk menggambarkan pola perilaku yang sering kali meragukan atau bahkan merasa tidak pantas untuk meraih pencapaian dan kesuksesan dalam hal-hal tertentu.
Adanya kecenderungan untuk melekatkan politik
sebagai aktivitas laki-laki, mengakibatkan sebagian besar perempuan luput dalam menyadari pentingnya keterlibatan mereka. Banyak pemerhati perempuan meyakini, kecenderungan ini pengaruh langsung dari
sistem sosial yang patriarkis.
Dapat dimengerti secara historis, bagaimana karakteristik pemerintahan kolonial memproduksi ketimpangan gender dengan tetap memertahankan feodalisme yang patriarkis. Dalam rezim kolonial demikian, perempuan selalu diposisikan di bawah kedudukan laki-laki. Keadaan itu tentunya merugikan bagi pembangunan nasional setelah Indonesia
merdeka.
Sehingga dukungan negara dibutuhkan untuk mengalirkan partisipasi perempuan sebagai bagian dari pembangunan politik dan perubahan sosial. Melalui Konstitusi, para pendiri negara telah menaruh fokus kepada ide kesetaraan, baik dalam hukum maupun politik. Ini guna menarik keterlibatan semakin
banyak orang dalam pembangunan nasional,
tanpa terkecuali kaum perempuan. Dalam perkembangan konstitusional berikutnya, pasca-amandemen UUD 1945, affirmative action mendapatkan legitimasi. Dalam Pasal 28H ayat (2) menyebutkan bahwa semua orang berhak mendapatkan perlakuan khusus guna mencapai kesamaan dan keadilan. Pada
fase ini hukum menjadi intrumen penyetaraan.
Dalam artian, memberikan perlakuan khusus untuk mendorong kesetaraan. Melalui affirmative action, pembangunan politik dikondisikan agar membutuhkan keterlibatan perempuan. Pengkondisian tersebut berguna dalam dua hal, yakni: pertama, mendorong
laki-laki untuk menyediakan tempat bagi perempuan.
Kedua, mendorong perempuan mengambil tanggungjawab dan tidak ragu untuk terlibat dalam politik. Adanya dukungan secara konstitusional, seharusnya dapat menjadi ilustrasi baru bagi kaum
perempuan bahwa keterlibatan dalam politik bukan lagi sebagai aktivitas laki-laki saja.
Angka minimal tersebut sekilas identik dengan critical mass sebagaimana dimaksud PBB. Tapi sebenarnya angka critical mass lebih mengacu ukuran minimal keterlibatan perempuan dalam memutuskan kebijakan.
Di sisi lain, berdasarkan hasil survei persepsi pemilih
pada pemilu legislatif tahun 2014 yang dilakukan Pusat Kajian Politik (Puskapol) Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, didapatkan beberapa kesimpulan, dua di antaranya, yakni : 1. Pemilih sebagian besar
melakukan pencoblosan pada nama caleg; 2. Sebagian besar pemilih memberikan suara untuk caleg laki-laki. Tren ini menggambarkan, walaupun keterwakilan perempuan diakomodasi dalam kebijakan affirmative action pada tahap pencalonan, tapi karena sistem pemilu legislatif menganut sistem daftar terbuka,
maka tingkat keterpilihan menjadi rendah.
Problematik lain yang terkini adalah terbitnya PKPU No.10 tahun 2023. PKPU ini terindikasi tidak hanya memperkecil kesempatan bagi calon perempuan untuk
melenggang ke parlemen, bahkan bertentangan dengan maksud 30% minimal keterwakilan perempuan. Dalam Pasal 8 ayat 2 PKPU tersebut disebutkan pemberlakuan
pembulatan ke bawah untuk syarat minimal keterwakilan perempuan.
Dengan perhitungan, jika jumlah kursi per dapil adalah
8, maka 30% nya adalah 2,4. Berdasarkan ketentuan PKPU tersebut, apabila hasil 30% keterwakilan perempuan menunjukkan dua desimal di bawah nilai 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Artinya hanya 2 orang perempuan yang disyaratkan pada dapil yang
memperebutkan 8 kursi.
Pembulatan ke bawah tersebut menyebabkan keterwakilan perempuan menjadi dibawah angka minimal 30%. Padahal pada pemilu 2019, pembulatan
dilakukan ke atas.
Beberapa problematik yang berhasil dinventarisir tersebut menunjukkan tidak ramahnya sistem pemilu
legislatif di Indonesia. Padahal kebijakan affirmative action diberlakukan untuk menggairahkan minat perempuan dalam politik.
Penulis, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia