I Nyoman Kenak. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri saat membuka Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023 menegaskan agar Pemerintah Provinsi Bali yang dipimpin Gubernur Wayan Koster menjaga taksu Bali melalui pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali. Ada beberapa pesan yang disampaikan Megawati agar dilaksanakan oleh Gubernur Koster. Salah satunya, meminta agar tarian Bali (terutama tari tradisi) tidak dipentaskan di hotel-hotel demi menjaga taksi tari Bali.

Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak mengapresiasi komitmen Megawati yang selalu peduli dengan Bali. Hal ini tentu harus menyadarkan masyarakat untuk memiliki komitmen yang sama.

Kenak sepakat bahwa kesakralan Bali salah satunya dalam bentuk seni harus terjaga. Bali sendiri mengenal kategori kesenian wali atau sakral dan kesenian yang bebalihan propan atau bersifat pementasan. Bahkan, masyarakat Bali telah memahami hal itu dan hingga saat ini masih terjaga.

“Terkait tari penyambutan di hotel-hotel itu, itu kategori bebalihan ada tontonan. Adapun yang dipentaskan untuk komersial seperti di hotel atau event-event tertentu, hanyalah tari kreasi yang bersifat profan. Namun untuk tari wali, seperti Sidakarya, belum kami temukan,” ujar Nyoman Kenak, Selasa (20/6).

Kenak mengatakan perlindungan terhadap kesenian Bali juga telah dipayungi kesepakatan bersama melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bersama PHDI Bali, Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Majelis Pertimbangan & Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali, dan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Baca juga:  KPU Gianyar Siapkan Tiga Gudang Untuk Simpan Logistik 

Mereka sepakat untuk melindungi dan menjaga kesucian berbagai tari sakral Bali. “Kesepakatan itu telah ditandatangi tahun 2019 lalu bersama pemerintah. Berdasarkan kesepakatan tersebut, tari sakral Bali tak boleh ditampilkan disembarang tempat, juga tak boleh digunakan untuk pemecahan rekor muri, ataupun kegiatan yang bukan upacara agama Hindu,” ungkapnya.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa saat itu telah tercatat ada 129 jenis tarian sakral yang mesti dijaga kesucian dan kesakralannya, dan hanya dipentaskan terkait penyelenggaraan upacara wali (pujawali) oleh penari dengan persyaratan tertentu. Adapun sejumlah tari sakral yang merupakan tari wali adalah Rejang Dewa, Tari Baris Memedi, dan lainnya, berjenis-jenis Tari Sanghyang, Tari Topeng Sidakarya, Wayang Wong, Gambuh, Arja, dan lainnya. Sementara tari balih-balihan, diantaranya tari Kecak, Janger, Joged, Drama Gong, dan berbagai tari kreasi baru seperti Manukrawa, tari Legong, tari Kupu-kupu, dan lainnya. “Tari Sang Hyang misalnya, penarinya harus gadis yang belum pernah datang bulan, dipentaskan saat pujawali di pura tertentu, sebagai satu contoh,” tandas Nyoman Kenak.

Selama ini, menurutnya yang dipertunjukkan di hotel dan tempat hiburan, seluruhnya tergolong balih-balihan. “Dulu memang pernah ada kasus, dimana tarian sakral dipentaskan diluar konteks upacara, tapi mendapat kritik dan protes, dan sesudah itu tidak pernah ada lagi kasus serupa. Kalaupun ada tari Topeng Sidakarya dipentaskan di areal hotel misalnya, boleh bila memang ada Pemlaspasan dan konteksnya untuk upacara, bukan tontonan wisata,’’ sambung Kenak.

Baca juga:  Aktivitas Gunung Agung Mulai Landai, Pengungsi Balik ke Rumah

Akademisi Unhi Denpasar, I Gusti Ketut Widana juga mengapresiasi kepedulian dan komitmen Megawati agar taksu Bali tetap terjaga melalui pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Bali. Hal ini penting dilakukan oleh segenap krama Bali agar nilai-nilai peradaban Bali dengan kebudayaan luhur warisan leluhur tidak sampai lebur, alagi hancur. Gusti Widana tidak menyangka ternyata Putri Bung Karno ini hafal yang namanya taksu.

Dijelaskan, dari berbagai referensi ada beberapa pengertian dari Taksu. Salah satunya, taksu adalah spirit kekuatan yang secara spiritual membuat seseorang menjadi lebih serius (seken), dilakukan dengan sebenarnya (saje), yakin dan percaya (santep), mempunyai kemampuan (bisa), tahu (nawang), dapat dilakukan (dadi) dan pastinya berhasil (nadi).

Frasa taksu memang merupakan kata benda (nomina), tetapi sejatinya mengandung makna ringkas sebagai “inner power” kekuatan jiwa (jiwani) yang bersifat abstrak/gaib/niskala/niguna (transenden) yang kemudian mengimanen (saguna) lalu memancarkan daya magi (wibawa/kharisma) sekaligus membuat takjub siapapun pengamat dan penikmat karyanya. Taksu inilah sebagai spirit dalam aktivitas masyarakat Bali (Hindu) dalam berkebudayaan termasuk kesenian, yang selalu melibatkan Tuhan di dalam setiap aktivitas berkarya. Sehingga, Baki tetap ajeg, bertumbuh dan semakin berkembang hingga saat ini.

Baca juga:  Pertama Kali Partisipasi di PKB, Sanggar Seni Kusuma Angkat Kehidupan Anak Nelayan

“Taksu inilah sebagai anugrah Tuhan Maha Gaib yang diyakini memberikan spirit, dan nilai bermakna dalam setiap aktivitas sosio-agraris-religius kehidupan masyarakat Hindu di Bali,” terangnya.

Oleh karenanya, taksu ini tidak saja berkaitan dengan bidang seni budaya. Namun, ebih dari itu. Meliputi seluruh aktivitas berkehidupan yang selalu merujuk pada taksu, semacam penjiwaan secara total lewat perilaku sosial yang tak pernah lepas dari dimensi ritual dan berorientasi spiritual. Melalui Taksu inilah masyarakat Hindu di Bali dapat menjaga keajegan kebudayaan Bali, yang tentunya oleh pemerintah Provinsi Bali melalui kepemimpinan Gubernur Koster dapat terus dan dengan fokus serta serius mengamankannya.

“Caranya, selain lewat berbagai regulasi untuk penguatan semangat Nangun Sat Kertih Loka Bali, yang sangat penting lagi adalah bagaimana mengimpelementasikan ke tingkat jajaran dan masyarakat terbawah. Gaung taksu Bali tidak hanya bergema, tetapi juga terbukti berguna bagi upaya memuliakan dan melestarikan nilai-nilai luhur kearifan lokal Bali yang sejak dulu dikenal adilung dan adiluhur,” tegasnya. (Winata/Balipost)

 

BAGIKAN