Oleh Agung Kresna
Wacana pelarangan pendakian gunung di Bali menyeruak seiring dikeluarkannya Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 04 Tahun 2023 tentang Tatanan Baru Bagi Wisatawan Mancanegara Selama Berada di Bali. Selanjutnya akan disusun Peraturan Daerah (Perda) Bali terkait pelarangan tersebut.
Aneka tanggapan pro dan kontra pun muncul sebagai reaksi tanggapan dari publik atas wacana tersebut. Situasi ini menunjukkan bahwa memang diperlukan tata kelola yang jelas dan transparan atas alam dan gumi Bali. Sehingga bukan semata pelarangan atas sesuatu hal, namun lebih pada konteks penataannya; karena menyangkut hajat hidup banyak krama Bali.
Langkah tegas memang harus dilakukan untuk menindak perilaku wisatawan yang tidak mematuhi segala bentuk kearifan lokal Bali. Pelanggaran atas hukum positif maupun tatanan hukum adat, memang telah mencederai aura dan taksu Bali. Berbagai kejadian tidak patut bak mengusik kesucian alam Bali.
Wisatawan yang datang ke Bali sudah seharusnya berkontribusi dalam rangka menjaga alam dan budaya Bali. Karena selama ini alam dan budaya Bali secara langsung maupun tidak langsung, telah terkena imbas perkembangan pesat industri pariwisata Bali. Hal ini sekaligus merupakan upaya gerakan konservasi alam, manusia, sekaligus kebudayaan Bali.
Harus diakui bahwa industri pariwisata di Bali selama ini telah ikut memberi dam-
pak terjadinya degradasi atas alam dan budaya Bali. Zona nyaman bidang pariwisata tidak boleh melenakan masyarakat Bali sehingga melupakan upaya melestarikan alam, gumi, dan kebudayaan krama Bali. Kita mungkin perlu belajar dari Bhutan, sebuah negara kecil yang makmur di puncak Himalaya. Negeri ini menerapkan empat visi utama : konservasi budaya, pelindun-
gan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan kepemimpinan yang baik.
Pembangunan kebahagiaan masyarakat lebih diutamakan dibanding pembangunan pertumbuhan ekonomi.
Bhutan mengembangkan pariwisata dengan luar biasa, namun dengan tetap
membatasi jumlah wisatawan per tahunnya. Biaya minimal penginapan diatur sebesar US $ 200 atau sekitar tiga juta rupiah per hari. Sehingga hanya akan
melayani sedikit wisatawan.
Akibatnya alam dan lingkungannya tetap dapat terjaga lestari. Barangkali pola kolaborasi pembangunan antara bidang alam dan kebudayaan dengan bidang pariwisata inilah yang sekarang sudah mulai dikritisi di Indonesia. Sebagaimana dengan model adanya biaya wisata dan konservasi alam/budaya yang dicoba terapkan di objek wisata Taman Nasional Pulau Komodo dan Taman Wisata Candi Borobudur.
Menjaga lingkungan sosial, budaya, dan alam lingkungan memang memerlukan kerjasama semua stakeholders. Merawat kebudayaan Bali juga berarti menjaga jati diri krama Bali. Kita harus menyadari bahwa peradaban Bali termanifestasi dalam tradisi leluhur yang telah berlangsung secara turun menurun. Kebudayaan Bali harus berdaulat sepenuhnya di seluruh Pulau Dewata.
Sektor pariwisata Bali sudah selayaknya ikut bertanggung jawab. Mengingat
bahwa tanpa kebudayaan yang tercermin dalam keseharian kehidupan krama Bali,
maka tidak akan ada wisatawan yang tertarik menjelajah Pulau Bali. Karena kebu-
dayaanlah maka pariwisata Bali itu ada. Sehingga tidak salah jika ada wacana
bahwa Bali memerlukan sipeng atau nyepi dalam melakukan wisata pendakian gu-
nung, guna menghindari kerusakan Bali yang lebih parah secara sekala dan niskala.
Mulat sarira atas semua sektor dalam rantai industri pariwisata Bali; sejak dari
pendirian hotel/villa, hingga penataan guide/pemandu wisata.
Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (Co-CUS) Bali, tinggal di Denpasar