DENPASAR, BALIPOST.com – Di bawah kepemimpinan Gubernur Bali, Wayan Koster bersama Wakil Gubernur Bali, Tjok Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace), telah memperkuat keberadaan desa adat melalui kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Kepala Bidang Pemajuan Hukum Adat, Dinas PMA Provinsi Bali, Ida Bagus Rai Dwija, mengungkapkan regulasi penguatan desa adat oleh Pemerintah Provinsi Bali sudah mengalami 4 kali perubahan.
Pertama, pada tahun 1986, kedua, tahun 2001, ketiga, tahun 2003. Dan terakhir pada tahun 2019, ditetapkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Regulasi-regulasi inilah yang menjadi dasar hukum desa adat yang mengacu pada Undang-Undang Dasar pasal 18B.
Selain adanya Perda Nomor 4 Tahun 2019 ini, dikatakan bahwa penguatan desa adat juga menjadi salah satu visi pembangunan Bali di era Gubernur Koster, dengan visinya “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” Melalui Pola Pembanguna Semesta Berencana Menuju Bali Era Bali. Visi ini mengemban 22 misi, salah satunya misi adalah memperkuat kedudukan, tugas, dan fungsi desa adat di Bali dalam melaksanakan tugas parahyangan, pawongan, dan palemahan.
“Inilah yang menjadi dasar hukum dan tonggak dari penguatan desa adat di Bali,” tandasnya dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Penguatan dan Pemberdayaan Desa Adat di Bali” di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (27/6).
Dwija dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Penguatan dan Pemberdayaan Desa Adat di Bali” di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (27/6) mengatakan, bahwa lahirnya desa adat di Bali tidak terlepas dari memori kolektif dari guru suci Mpu Kuturan. Dimana, pada abad ke-9 hingga ke-11 Mpu Kuturan menyatukan sekte-sekte yang ada di Bali yang difusikan di Samuan Tiga, yaitu Tri Murti (Brahma, Wisnu, dan Iswara). Apabila direpresentasikan ke desa adat, bahwa di desa adat terdapat Kahyangan Tiga yang pada masa itu menguatkan desa adat itu sendiri dengan Pura Kahyangan Tiga ini. Apalagi, dalam perkembangan sampai saat ini desa adat ini sudah ada berabad-abad lamanya. Sehingga, keberadaan desa adat harus diperkuat.
Lebih jauh diungkapkan bahwa desa adat memiliki kedudukan yang jelas, karena ada wilayah/wewidangan. Desa adat juga memiliki tugas yang jelas untuk mewujudkan kesukertan desa adat di baga parahyangan, pawongan, dan palemahan. Di samping juga memiliki kewenangan-kewenangan yang bersifat otonom (bisa mengatur rumah tangganya sendiri) mengacu pada UUD 1945. Apalagi, UU Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2023 telah disahkan. Sehingga, lebih memperkuat dan memberdayakan kedudukan, fungsi, dan wewenang desa adat di dalam menjaga adat istiadat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokalnya.
Diharapkan, desa adat di Bali bisa memanfaatkan, mengembangkan dan mengelola sektor-sektor ekonomi yang ada di desa adat. Di samping mengembangkan SDM yang ada di desa adat. Sehingga, pemberdayaan desa adat semakin meningkat. Apalagi, dikatakan sejak tahun 2020 Gubernur Koster melalui Dinas PMA mengalokasikan dana sebesar Rp300 juta pertahun kepada setiap desa adat yang ada di Bali.
Penyarikan Desa Adat Pedungan, Denpasar, I Gede Redita, mengakui bahwa kebijakan Gubernur Koster memperkuat dan memberdayakan desa adat di Bali patut diacungi jempol. Di Desa Adat Pedungan, kebijakan ini dirasakan sangat bermanfaat, terutama bagaimana desa adat diberikan kewenangan mengatur wewidangannya untuk memberdayakan desa adat dan krama desa adat itu sendiri. Selain itu, dengan kebijakan ini juga semakin memperjelas dasar hukum di desa adat yang terlihat sebagai satu kesatuan. Sehingga, terlihat jelS sinergisitas antara pemerintah dengan desa adat. Bukan merupakan intervensi pemerintah kepada desa adat.
“Apapun yang dilakukan pemerintah sejatinya untuk menekan permasalahan-permasalahan desa adat yang selama ini mungkin belum diatur dan diketahui. Banyak permasalahan di desa adat yang jika dibawa ke tanah hukum positif akan banyak bertentangan. Jadi syukur ada penguatan-penguatan desa adat melalui Perda Nomor 4 Tahun 2019 ini,” tandasnya. (kmb/balipost)