Tangkapan layar Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) dr Ari Kusuma Januarto, Sp.OG saat menyampaikan komentar terkait praktik aborsi yang diikuti dalam jaringan di Jakarta, Jumat (30/6/2023). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Tindakan aborsi harus dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dan wewenang. Hal itu dikatakan Ketua Bidang Advokasi dan Legislasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) dr Ari Kusuma Januarto,Sp.OG.

“Kompetensi penting sekali, karena semuanya harus didasarkan atas suatu indikasi, bahkan dilakukan secara prosedur mulai dari pratindakan sampai setelah tindakan,” katanya dalam taklimat media di Jakarta, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, Jumat (30/6).

Pernyataan itu disampaikan merespons temuan satu unit rumah tinggal di Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat, yang dijadikan sebagai tempat praktik aborsi oleh oknum nonmedis.

Kepolisian Resor Jakarta Pusat menindak praktik aborsi salah satu rumah di Jalan Merah Delima, Sumur Batu, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (28/6).

Baca juga:  Korban Meninggal Kebakaran Gudang Elpiji di Jalan Cargo Bertambah, Belasan Orang Kondisinya Kritis

Praktik aborsi yang melibatkan pelaku dari kalangan nonmedis itu telah berlangsung kurang lebih sebulan terakhir.

Ari yang merupakan dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi itu mengatakan, tindakan medis harus bertujuan untuk keselamatan pasien, sebab aborsi memiliki beragam risiko berbahaya.

Untuk itu, kata dia, pemerintah mengatur ketentuan tersebut melalui Undang-Undang Kesehatan Nomor 75 ayat 2 tentang Aborsi di mana tindakan harus didasari atas indikasi kedaruratan medis yang dialami pasien dan akibat dari tindakan pemerkosaan.

“Semua yang menyangkut risiko medis pada ibu hamil seperti pendarahan, pembiusan, ada proses-proses dari masalah anamnesa tentang adanya penyakit-penyakit pada pasien, itu semua sangat penting,” katanya.

Baca juga:  Kasus Temuan Orok di Penasan, Begini Pengakuan Pelaku

Risiko lain dari tindakan aborsi, kata dia, adalah masalah kejiwaan pasien yang juga memerlukan pembinaan, sehingga tindakan aborsi harus dilakukan di fasilitas yang baik dan harus ditunjuk oleh pemerintah.

Ia menjelaskan saat ini ada sekitar 11 persen perempuan yang tidak menginginkan kehamilannya, bisa karena masalah janin, kesehatan, atau masalah sosial sehingga belum memiliki persiapan matang.

“Masalah hukum ini sebetulnya sudah ada regulasi dari pemerintah, baik itu di Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, baik itu di Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan Reproduksi Nomor 61 Tahun 2014, baik di KUHP yang mengatur regulasi aborsi ini,” katanya.

Baca juga:  Kasus Praktik Aborsi, Jaksa Belum Terima Pelimpahan Tersangka Ari Wiantara

Ia mengatakan aturan tersebut perlu disosialisasikan agar masyarakat dapat memahami perbedaan makna dari aborsi medis dan aborsi yang berkaitan dengan tindakan kriminal.

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, tambahnya, mengatur tentang siapa yang memiliki wewenang dan berhak melakukan aborsi, serta fasilitas yang ditunjuk ini oleh pemerintah. “Siapa yang menerapkan?, tentunya dari pemerintah dan kami dari organisasi profesi siap membantu, siap mendampingi bersama-sama untuk menjalankan hal tersebut,” demikian dr Ari Kusuma Januarto. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN