DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali mulai menerapkan tiket retribusi bagi wisatawan yang melakukan kegiatan wisata snorkeling dan diving di kawasan Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Penerapan mulai dilakukan per 1 Juli 2023. Namun, penerapan kebijakan retribusi Rp 100 ribu ini menuai pro dan kontra di masyarakat dan pelaku pariwisata.
Bahkan, beredar video cekcok antara petugas dengan pelaku usaha snorkeling terkait pungutan retribusi ini. Pelaku usaha menganggap sosialisasi terkait retribusi ini belum dilakukan secara menyeluruh.
Dikonfirmasi terkait hal ini, Senin (3/7), Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Putu Sumardiana membenarkan telah menerapkan retribusi tersebut berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 7 Tahun 2021 tentang Retribusi Jasa Usaha. Dikatakan, sosialisasi penerapan kebijakan ini telah dilakukan sejak Januari 2023.
“Itu sebetulnya sudah diberlakukan lama. Sejak Januari saya sudah membuat sosialisasi melalui media cetak dan elektronik termasuk surat edaran bahwa ini akan segera diterapkan. Kita tidak semena-mena menerapkan itu karena kita perlu melihat perkembangan dilapangan,” ujar Putu Sumardiana.
Sumardiana mengatakan sosialisasi secara masif telah dilakukan selama 6 bulan kepada pelaku usaha, operator, dan jasa usaha pariwisata. Sehingga, ia merasa cukup untuk dipahami para pelaku pariwisata di Nusa Penida dan Nusa Lembongan.
Apalagi, sosialisasi dilakukan dengan menggunakan 2 bahasa, yakni bahasa Inggris dan Indonesia. Selanjutnya pada 1 Juli 2023, pihaknya sudah turun ke lapangan dengan beberapa instansi terkait, seperti Satpol PP dan Kepolisian untuk membantu menegakan aturan ini. “Kita sudah menggunakan e-ticketing, namun kendalanya dilapangan sinyalnya jelek. Lalu kita menggunakan tiket manual. Jadi intinya itu semata-mata hanya menegakan Perda Nomor 7 Tahun 2021,” tandasnya.
Ketika disinggung retribusi Rp100 ribu, dikatakan bahwa tiket retribusi dengan harga tersebut hanya untuk wisatawan mancanegara (wisman). Sedangkan, wisatawan domestik (wisdom) dikenakan Rp10 ribu.
Ditegaskannya, pemberlakukan tiket retribusi ini tidak dikenakan kepada wisatawan yang tidak melakukan aktivitas di daerah kawasan konservasi. Hanya wisatawan yang akan melakukan snorkeling dan diving di kawasan konservasi Nusa Penida dan Nusa Lembongan saja yang akan dikenakan tiket retribusi.
Adapun tujuan menerapkan tiket retribusi ini untuk menjaga kelestarian sumber daya laut agar tidak hancur. “Intinya kita menjaga kawasan konservasi ini biar tetap baik dan sebagainya. Jangan sampai ada kasus seperti di Bunaken yang terumbu karang mnya rusak akibat snorkling atau diving, artinya kita bertanggung jawab kelestarian konservasi,” ujarnya.
Sumardiana mengatakan retribusi yang terkumpul nantinya akan dimanfaatkan untuk pelestarian wilayah konservasi dan biaya operasional tim pengawasan di lokasi. “Kalau dibuka semua kan bisa saja hancur. Dengan adanya itu (retribusi,red), pertama untuk adanya PAD, kedua untuk pelestarian (laut),” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Tjok Bagus Pemayun membenarkan bahwa penarikan retribusi ini mendapat penolakan dari pihak pelaku usaha di Nusa Penida. Namun, dikatakannya Dispar dan KKP telah mengundang Gabungan Pengusaha Wisata Bahari (Gagawisri) untuk menyosialisasikan aturan ini pada 25 Oktober 2022 di Wisma Sabha, Kantor Gubernur Bali.
Hanya saja, dari ratusan pengusaha yang diundang, yang hadir cuma 28 orang. Meskipum demikian, Tjok Pemayun mengatakan pemerintah telah melakukan sosialisasi secara masif terkait retribusi ini.
Masalah pro dan kontra saat diterapkan, dinilainya merupakan hal yang biasa. Namun, akan dibicarakan dan akan dilakukan sosialisasi kembali. (Winatha/balipost)