Ida Bagus Nyoman Dedy Andiwinata, S. H. (BP/Istimewa)

Oleh Ida Bagus Nyoman Dedy Andiwinata, S.H.

Teka-teki pengujian konstitusionalitas sistem pemilu proporsional terbuka, terjawab sudah. Melalui sidangnya Kamis (15/6), Mahkamah Konstitusi telah memutus perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 dengan amar “menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan”. Putusan ini menerangkan bahwa Majelis Konstitusi menilai sistem proporsional terbuka tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lalu apa yang menarik dari putusan ini?

Terdapat tiga poin dalam pertimbangan mahkamah yang kiranya penting. Pertama, putusan cenderung mendudukkan konstitusionalitas proporsional terbuka tidak dalam oposisi biner atas Proporsional tertutup. Kedua, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mencoba mengonstruksi sistem pemilu yang sesuai konstitusi. Ketiga, Adanya penegasan Mahkamah yang memberi ruang bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi terhadap sistem pemilu yang ada secara bersyarat.

Dirunut baik dalam UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS 1950, hingga UUD 1945 Amandemen tidak disebutkan sistem pemilu apa yang wajib diterapkan di Indonesia. Namun mengingat heterogenitas penduduk Indonesia, secara doktrinal model perwakilan yang relevan diterapkan adalah perwakilan berimbang atau proporsional. Karena sistem ini yang dianggap paling menjamin dalam meminimalisasi terbuangnya suara pemilih, dibandingkan sistem mayoritas/pluralitas.

Baca juga:  Konektivitas dan Digitalisasi Industri Pariwisata

Digunakannya pendekatan doktrinal dalam mengonstruksi sistem pemilu di Indonesia, menyebabkan perdebatan sistem pemilu seharusnya bukan menjadi debat soal konstitusional dan inskonstitusional, melainkan relevan atau kurang relevannya untuk diterapkan. Namun mengingat adanya putusan MK dalam perkara No.22-24/PUU-VI/2008 terdahulu terkait “keterpilihan calon ditentukan dengan suara terbanyak” yang merujuk kepada pilihan “proporsional terbuka”, akhirnya menyeret dinamika melulu ke arah konstitusionalitas.

Dengan putusan MK dalam perkara No. 114/PUU-XIX/2022, Mahkamah nampak mencoba memosisikan kembali sistem proposional sebagai pilihan doktrinal. Sehingga permohonan para pemohon yang menghendaki proporsional tertutup dan memohonkan agar proporsional terbuka sebagai inkonstitusional, memanglah tepat disebut tidak berdasar menurut konstitusi. Walaupun kemudian Mahkamah mencoba mengonstruksi sendiri batasan-batasan sistem pemilu yang konstitusional menurut konstitusi dalam putusan MK.

Dalam putusannya, MK tidak memaknai kedua varian sistem proporsional, baik terbuka atau tertutup dalam oposisi biner konteks konstitusionalitasnya. Walaupun Mahkamah menyebut proporsional terbuka “lebih dekat” dengan keinginan para pengubah UUD 1945, tapi argumentasi itu sebenarnya cenderung untuk membantah dalil bahwa proporsional terbuka inkonstitusional.

Baca juga:  Ramai-ramai Soal Pungli di Desa

Tidak dapat dipungkiri, dalam praktiknya baik proporsional terbuka dan proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kedua varian tersebut membutuhkan penyesuaian dalam implementasinya. Oleh karena itu, varian-varian tersebut sering diadopsi oleh negara-negara demokrasi di dunia dengan beberapa perubahan menyesuaikan dinamika. Bagi Mahkamah, sistem proporsional yang sesuai adalah sistem proporsional yang memungkinkan kedekatan rakyat dan wakilnya, dengan tanpa hilangnya disiplin kader terhadap partai.

Untuk sampai pada model tersebut, dua kemungkinan yang bisa diajukan sebagai ilustrasi. Pertama, sistem pemilu yang dianut adalah proporsional terbuka murni, dengan perubahan berbagai peraturan agar mendukung kedisiplinan kader terhadap partai. Kedua, sistem proporsional terbuka sebagian atau terbuka terbatas, yang salah satu contoh misalnya sebagaimana praktek pemilu tahun 2004.

Open Legal Policy

Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 memberikan kesempatan kepada legislatif untuk meramu sistem pemilu dan dituangkan dalam bentuk UU. Pengaturan tersebut mengindikasikan bahwa penentuan sistem pemilu merupakan open legal policy lembaga legislatif. Putusan MK dalam perkara No. 114/PUU-XIX/2023 kurang lebih menegaskan kembali kewenangan legislatif ini, tentunya dengan beberapa persyaratan.

Baca juga:  AN dan Pembelajaran Penalaran

Setidaknya terdapat empat syarat yang harus diperhatikan, apabila kedepannya dilakukan revisi terkait sistem pemilu, yakni : 1) perubahan dilakukan tidak terlalu sering, agar terwujud kepastian dan kemapanan sistem pemilu; 2) perubahan harus ditempatkan dalam rangka penyempurnaan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku, untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraannya; 3) perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai; 4) perubahan dengan tetap menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik dan prinsip kedaulatan rakyat. 5) perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningfung participation).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, kedepannya parlemen dapat melakukan revisi terhadap UU Pemilu yang ada. Sehingga tidak lagi ada keraguan atas kewenangan parlemen soal penentuan sistem pemilu. Tentunya dengan tetap memerhatikan konstruksi sistem pemilu sebagaimana dirumuskan dalam pertimbangan MK dalam putusan perkara No. 114/PUU-XIX/2022 tersebut.

Penulis, Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia

BAGIKAN