Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Sepertinya sudah lumrah ketika ada hajatan ritual tertentu dipersembahkan pergelaran Calonarang (Calon Arang). Calonarang tergolong seni pertunjukkan
bernuansa magis, beraroma mistis dan akrab dengan hal-hal mistis dan atau klenis.

Salah satu cirinya, ketika pertunjukkan berlangsung biasanya disertai kehadiran “watangan” (seseorang
berperan sebagai mayat), lalu sang empunya sekaa
Calonarang mulai “ngatag” (mengundang), dengan cara
memanggil-manggil, kadang berteriak lantang sambil tepuk dada (ngedig tangkah) menantang siapapun di
sekitar arena pertunjukkan yang sekiranya bisa “nge-leak” (black magic) untuk datang beradu kesaktian.

Ada juga pertunjukkan sejenis dengan maksud
mencetakrekor tampilan watangan terbanyak. Tak
terkecuali tarian sakral Rejang yang acapkali dipertunjukkan secara massal (kolosal), juga dengan tujuan pemecahan rekor penari terbanyak.

Hanya saja untuk ritual Tumpek Pangatag (Tumpek Bubuh), tentu tidak relevan jika dibarengi pertunjukkan
Calonarang dengan “ngatag” praktisi pangliakan. Justru
akan lebih indah dan penuh berkah jika sekali waktu
ngatag (mengajak) hingga ketog sempprong segenap
elemen masyarakat Bali di masing-masing desa adat
(krama banjar/desa, sekaa teruna, paiketan krama istri/
ibu-ibu PKK, petani subak,dll) untuk turun (tedun) men-
gadakan gerakan cinta lingkungan. Sebagai pemantik
rasa jengah, lebih bagus lagi mengikuti model pemecahan rekor dengan katagori “terbanyak”.

Baca juga:  UU ITE dan Politik Identitas

Misalnya, aksi penanaman pohon kelapa terbanyak di wilayah desa adat, penanaman pohon jepun atau sandat terbanyak di karang paumahan, lomba penanaman tumbuhan upakara di sekitar area Pura, atau lomba perindangan telajakan terindah, yang selama ini disewa pedagang luar dengan tampilan kumuh namun hasilnya “telahjakan” — habis untuk kebutuhan sehari-hari. Bisa juga mengadakan lomba reboisasi lahan tegalan, bukit, gunung, hutan atau kawasan terbuka yang kini semakin tidak hijau lagi.

Apalagi setiap desa adat di Bali (ada 1.493) mendapat gelontoran dana BKK (Bantuan Keuangan Khusus) dari Pemvrop Bali sejumlah @ Rp300.000.000-350.000.000 per tahun. Dengan dana sebesar itu, desa adat sebagai
pengamal ajaran Tri Hita Karana, semestinya tidak hanya digunakan untuk kepentingan “Parahyangan” (Pura dan Ritual), perlu juga pemberdayaan “Pawongan” (peningkatan kualitas sumber daya manusia/krama/umat), dan sangat penting sekali penguatan “Palemahan” – wewidangan, meliputi alam lingkungan sekitar yang jika dimanfaatkan secara maksimal akan mampu menjadi sumber daya dukung
kebutuhan ritual yadnya secara mandiri, tidak tergantung pasokan luar daerah.

Baca juga:  Gempa Mengguncang Bali di Hari Suci "Tumpek Pengatag," Ini Maknanya

Merujuk hasil penelitian Prof. Made Sukarsa (2009) yang tertuang dalam bukunya berjudul “Biaya Upacara Manusia Bali”, ditemukan fakta, proporsi pengamalan ajaran Tri Hita Karana tercatat hanya 2 persen untuk kepentingan palemahan (alam-lingkungan), pawongan 42 persen, dan porsi parahyangan 56 persen. Data ini menjadi bukti, bahwa krama Bali (umat Hindu) tergolong “tidak peduli” dengan apa yang namanya cinta alam dan lingkungan, nyaris tiada komitmen secara konsisten dan
kontinu untuk melakukan aksi pemeliharaan, perawatan dan pelestarian lingkungan.

Padahal hidup dan kehidupan segenap makhluk, terutama manusia, lebih-lebih umat Hindu sangat tergantung pada tersedianya sumber daya alam. Kalaupun ada, harus diakui masih sebatas pada kegiatan ritual seperti halnya Tumpek Pangatag (Tumpek Bubuh) yang dilaksanakan setiap Saniscara Kliwon wuku Wariga (210 hari sekali) sebagai moment religius pemujaan Dewa Sangkara (Dewanya tumbuh-tumbuhan).

Baca juga:  Tumpek Bubuh Bukan Ritual Sulap

Sementara bentuk aksi nyata sebagai wujud kesadaran lingkungan sama sekali tidak tampak menggeliat. Bahkan ketika pemerintah Provinsi Bali sudah mengeluarkan beberapa instruksi atau surat edaran gubernur yang mengorelasikan enam (6) rerainan Tumpek dengan misi Nangun Sad Kertih Loka Bali, sepertinya masih sebatas regulasi dan lagi-lagi implementasinya berupa aktivitas ritual, minus environmental, tanpa aksi nyata melestarikan alam-lingkungan beserta segala sumber daya hayatinya.

Sudah saatnya kini, rerainan Tumpek Pangatag dijadikan momentum ngatag, mengundang dan mengajak umat untuk melakukan gerakan tanam pohon, tidak lagi “tanam tebu di bibir” — hanya manis wacana tanpa laksana.

Jika kegiatan yang sebenarnya kontraproduktif seperti “semiloka/seminar” (sekaa minum loka Bali : arak dan tuak) tanpa di-atag (diundang) bisa dengan mudah datang dan berkumpul, mengapa ngatag umat tanam pohon tidak mampu? Dalam pola kepemimpinan paternalistik, diperlukan teladan pemimpin dari segala level sosial untuk memulai menggerakkannya.

wi

BAGIKAN