Made Agus Sugianto, SKM, M.Kes. (BP/Istimewa)

Oleh Made Agus Sugianto, SKM, M.Kes.

Bencana alam selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu sesuatu hal yang berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya korban akibat bencana diperlukan kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kesadaran dan kesiapan menghadapi bencana ini idealnya sudah dimiliki oleh masyarakat melalui kearifan lokal daerah setempat.

Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah yang mempunyai risiko terhadap bencana. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdapat 130 gunung merapi aktif dan terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir bandang dan tanah longsor pada musim hujan.

Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko menimbulkan bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Kegiatan ini bertujuan untuk: a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Baca juga:  Memproteksi Pekerja Migran

Langkah strategis upaya pengurangan risiko bencana adalah dengan melakukan mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Tahap mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi serta menanggulangi resiko bencana. Kegiatannya berupa perbaikan dan modifikasi lingkungan fisik maupun penyadaran serta peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Menurut Hardi Warsono, dkk. (2019), tahap mitigasi bencana dilakukan secara struktural maupun kultural (non struktural). Secara struktural upaya yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun early warning system (sistem peringatan dini) yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.

Baca juga:  Saraswati, Sinergi Paradogma dan Paradigma

Mitigasi struktural juga merupakan upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Sedangkan mitigasi kultural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan perundang-undangan penanggulangan bencana. Upaya mitigasi kultural juga dilakukan dengan cara mengubah paradigma, meningkatkan pengetahuan dan sikap sehingga terbangun masyarakat yang tangguh. Termasuk di dalamnya adalah membuat masyarakat peduli terhadap lingkungannya untuk meminimalkan terjadinya bencana. Secara umum, yang dilakukan pada tahapan ini adalah: 1). membuat peta atau denah wilayah yang sangat rawan terhadap bencana; 2). pembuatan alarm bencana; 3). membuat bangunan tahan terhadap bencana tertentu dan 4). memberi penyuluhan serta pendidikan yang mendalam terhadap masyarakat yang berada di wilayah rawan bencana.

Selanjutnya adalah tahap kesiapsiagaan bencana. Tahap ini dilakukan menjelang sebuah bencana akan terjadi. Pada tahapan ini, seluruh elemen terutama masyarakat perlu memiliki kesiapan dan selalu siaga untuk menghadapi bencana. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menyusun rencana kontinjensi. Menurut Triutomo, dkk. (2011), kontinjensi merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi, namun belum tentu pasti terjadi. Perencanaan kontinjensi adalah upaya untuk merencanakan peristiwa yang kemungkinan terjadi, namun peristiwa itu belum tentu terjadi. Mengantisipasi berbagai unsur ketidakpastian, diperlukan perencanaan untuk mengurangi dampak yang mungkin terjadi.

Baca juga:  Hujan Deras Picu Belasan Titik Bencana Alam di Karangasem

Secara umum, kegiatan pada tahap kesiapsiagaan antara lain: 1). menyusun rencana pengembangan sistem peringatan, pemeliharaan persediaan dan pelatihan personil; 2). menyusun langkah-langkah pencarian dan penyelamatan serta rencana evakuasi untuk daerah yang mungkin menghadapi risiko dari bencana berulang dan 3). melakukan langkah-langkah kesiapan tersebut, yang dilakukan sebelum peristiwa bencana terjadi. Semua upaya mitigasi dan kesiapsiagaan bencana tersebut tentunya diharapkan akan meminimalkan korban jiwa, gangguan layanan, dan kerugian harta benda saat terjadinya bencana.

Penulis, Analis Kebijakan pada Bidang Ekonomi dan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Daerah Kabupaten Badung

BAGIKAN