John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menetapkan tanggal 29 Juni sebagai Hari Keluarga Nasional. Penetapan ini, merupakan wujud pengakuan terhadap pentingnya peran keluarga sebagai unit dasar masyarakat dan pilar utama pembangunan bangsa. Di era digital ini keluarga mengalami transformasi yang cukup signifikan, terutama selama masa pandemi.

Pemanfaatan internet selama masa pandemi untuk keperluan kerja dan belajar dari rumah, meninggalkan kebiasaan peggunaan akses internet yang tinggi. Komunikasi melalui media sosial mencirikan gaya hidup dan hubungan, termasuk interaksi di antara anggota keluarga. Bagaimana kita memandang hal ini.

Secara harafiah kata keluarga berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua kata, yakni: “kelu” yang artinya mengabdi, dan “warga” artinya anggota atau warga. Jadi, keluarga adalah sekumpulan warga (ayah, ibu dan anak-anak) yang saling mengabdi. Perkawinan merupakan awal dari pembentukan keluarga. Dalam perkawinan suami-istri berkumpul, namum mereka tidak lebur menjadi satu, melainkan tetap memiliki kepribadian dan keunikan masing-masing. Keduanya tidak hadir sebagai dua pesaing, melainkan sebagai dua insan yang saling melengkapi.

Dengan sangat indah Kahlil Gibran menggambarkan hubungan suami-istri itu sebagai berikut. “Saling isilah piala minuman, tapi jangan minum dari satu piala. Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama. Bernyanyilah dan menarilah bersama dalam segala sukacita, hanya biarkan masing-masing menghayati ketunggalannya. Tali rebana masing-masing hidup sendiri. Walau lagu yang sama sedang menggetarkannya”.

Baca juga:  Guru Penggerak dan Transformasi Pembelajaran

Dari persatuan yang berbasis cinta ini kemudian lahir anak-anak sebagai buah cinta dan tanggung jawab dari kedua pasangan. Cinta yang tadinya bersifat dua arah, kini menjadi tiga arah bahkan multi arah dengan hadirnya beberapa anak. Tentang anak, Kahlil Gibran memiliki pandangan berikut, “Anak adalah kehidupan. Mereka lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu. Walaupun besamamu tetapi bukan milikmu. Curahkan kasih sayang tetapi jangan memaksakan pikiranmu. Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. Berikan rumah untuk raganya, tetapi bukan untuk jiwanya.

Dari penggambaran di atas, kita dapat melihat betapa pentingnya keluarga dalam melanggengkan peradaban umat manusia. Confusius (551 SM- 479 SM) mengatakan bahwa kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh integritas keluarganya. Dengan perkataan lain, keluarga merupakan peradaban manusia dalam bentuk miniatur. Rusaknya keluarga merupakan ancaman serius terhadap runtuhnya seluruh konstruksi masyarakat.Dimensi kelahiran, mengandaikan setiap kelahiran itu diharapkan dan merupakan akibat dari tindakan sadar dan karena itu harus direncanakan. Lalu dimensi kesehatan artinya anggota keluarga memiliki literasi kesehatan yang memadai untuk mendukung pola hidup sehat dari seluruh anggota keluarga.

Baca juga:  Banjar sebagai ’’Coworking Space’’

Kemudian dimensi pendidikan. Artinya anak laki-laki atau perempuan dalam keluarga tidak boleh dibedakan hak mereka terhadap pendidikan. Sementara dimensi kesejahteraan yang dimaksudkan, lebih kepada martabat keluarga, bukan sekadar memiliki kekayaan. Terakir dimensi masa depan, seluruh anggota keluarga harus disiapkan untuk menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks. Dalam rangka kiranya perlu untuk membentuk keluarga pembelajar. Di mana semua anggotanya sadar untuk terus mengembangkan potensi diri di era digital ini.

Ini dipermudah, manakala akses internet kini telah menginfiltrasi kehiduapan keluarga. Sayang, maraknya penggunaan ini tidak dibarengi oleh literasi digital.Harus kita akui bahwa, ibu-ibu rumah tangga kewalahan akibat anak-anak mereka yang ketagihan bermain video game, menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling tiktok dan mengabaikan kegiatan lain seperti belajar atau bersosialisasi. Belum lagi ancaman kerusakan mata anak yang diakibatkan oleh paparan sinar biru dari gawai.

Namun semua dampak negatif tidak mungkin membatalkan penggunaan internet dalam keluarga. Bagaimana pun internet membawa dampak positif terhadap kehidupan keluarga. Internet berkontribusi secara positif terhadap hubungan keluarga karena berbagai wahananya memberikan kesempatan kepada anggota keluarga yang berjauhan untuk berkomunikasi dengan cepat melalui video atau audio.

Baca juga:  Tantangan Bahasa Bali di Era Digital

Dewasa ini, karena sebagian besar keluarga terdiri dari orangtua yang bekerja di siang hari dan anak-anak yang menghabiskan waktunya di sekolah, maka kesempatan berkomunikasi satu sama lain mungkin hanya beberapa jam sebelum tidur. Untuk mengurangi berbagai dampak negatif dari penggunaan internet yang berlebihan keluarga perlu melakukan beberapa langkah berikut ini. Pertama, anggota keluarga perlu menyadari dampak buruk dari penggunaan internet. Kesadaran ini perlu ditanamkan di dalam hati anggota keluarga, agar setiap orang dapat menggunakan internet secara bertanggung jawab untuk kemajuan diri.

Kedua, waktu bersama. Anggota keluarga perlu menyepakati adanya waktu bersama, di luar kebiasaan rutin seperti makan bersama, ibadah bersama, di mana setiap anggota keluarga terlibat di dalamnya. Ketiga, di luar kebiasaan. Yang dimaksudkan di sini adalah keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam kegiatan bersama misalnya, berkebun bersama, tamasya bersama, kunjungan ke rumah jompo, panti asuhan, memancing, dll.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN