Desa Adat Subaya, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli belum lama ini menggelar upacara naur kelaci atau parebuan. (BP/Istimewa)

BANGLI, BALIPOST.com – Desa Adat Subaya, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli belum lama ini menggelar upacara naur kelaci atau parebuan. Upacara itu dilaksanakan oleh warga Desa Subaya yang sudah menikah, atau warga luar desa yang mengambil istri atau leluhur istrinya berasal dari Desa Adat Subaya. Warga yang melaksanakan upacara naur kelaci wajib mempersembahkan seekor babi. Bobotnya tidak boleh kurang dari 40 kilogram.

Bendesa Adat Subaya, Wayan Bali Arta, mengatakan upacara naur kelaci atau parebuan dilaksanakan setiap Purnama Sasih Kasa. Upacara tersebut digelar di Pura Bale Agung desa adat setempat. Upacara naur kelaci dikhususkan bagi warga desa yang sudah menikah atau warga luar desa yang istri atau leluhur istrinya berasal dari Desa Adat Subaya.

Baca juga:  Membawa Bali ke Era Baru

Warga yang naur kelaci wajib mempersembahkan satu ekor babi yang beratnya minimal 40 kilogram. Tidak boleh kurang. “Kalau lebih tidak apa,” ujarnya. Selain itu juga wajib ngaturang kelapa 10 butir, beras dan bumbu dapur. Babi yang dihaturkan kemudian akan dipotong dan diolah untuk dijadikan sesajen. Sesajen tersebut selanjutnya dihaturkan di Palinggih Ida Bhatara Ratu Pasek di Pura Bale Agung.

Setelah dihaturkan sesajen tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan untuk warga yang naur kelaci dan seluruh krama Desa Adat Subaya. Bali Arta mengatakan pada Purnamaning Sasih Kasa, 3 Juli lalu, jumlah warga yang naur kelaci di Desa Adat Subaya sebanyak 87 kepala keluarga (KK).

Baca juga:  Perbatasan Bangli-Gianyar Segera Ditata

Secara pribadi dirinya mengaku belum tahu persis makna dari upacara tersebut. Naur Kelaci di Desa Adat Subaya selama ini belum ada diatur secara tertulis dalam pararem atau aturan adat lainnya di Subaya. Meski demikian upacara naur kelaci atau parebuan selama ini tetap berjalan dan dilaksanakan secara turun-temurun oleh warga secara ikhlas. “Dari desa adat tidak ada mewajibkan. Karena memang tidak ada munggah dalam pararem atau uger-uger. Warga naur kelaci secara ikhlas berdasarkan kepercayaan,” pungkasnya. (Dayu Swasrina/balipost)

Baca juga:  Cok Ace: Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali Sejalan dengan Green Tourism
BAGIKAN