SEMARAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Dalem Setra Batununggul, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung, menyenggarakan upacara Palebon Masa Kinembulan. Dalam pelaksanaan upacara secara massal tersebut, menjadi momen istimewa, penyelenggaraan ini baru pertama kali dilaksanakan. Sehingga, seluruh krama setempat sangat antusias “ketog semprong”, menyukseskan acara tersebut.
Bendesa Adat Dalem Setra Batununggul, I Dewa Ketut Anom Astika, Rabu (19/7) menyampaikan upacara palebon kali ini, diselenggarakan oleh desa adat. Selama ini, upacara dilakukan secara berkelompok atau trah masing-masing.
Puncak upacara Palebon Kinembulan dilaksanakan 9 Juli 2023 lalu. Selanjutnya pada 25 Juli nanti, untuk Upacara Ngeroras atau Atma Wedana, dilanjutkan dengan upacara Nuntun atau Ngingkup pada 11 Agustus mendatang.
Urunan yang dikeluarkan krama lebih ringan. Sebanyak 550 krama setiap yang punya sawa dikenakan biaya Rp3 juta dari palebon sampai nuntun. Sementara bagi warga yang mengikuti upacara atma wedana sampi nuntun hanya dikenakan biaya Rp1,5 juta.
Sedangkan krama yang tidak mempunyai sawa dikenakan iuran wajib Rp200 ribu. Biaya yang begitu ringan tersebut sangat membantu masyarakat dalam melaksanakan upacara palebon hingga nuntun. “Kami berusaha dan berupaya maksimal melayani masyarakat tanpa membebani, tetapi meringankan krama. Desa adat terus mengambil peran. Jadi krama merasakan kehadiran peran desa adat,” kata Dewa Anom Astika.
Desa Adat Dalem Setra Batununggul terdiri dari lima banjar, di antaranya Mentigi, Sampalan, Geria Tengah, Batununggul serta Tainbesi. Sebelum palebon yang diinisiasi desa adat, dengan biaya yang tidak sedikit, petualangan yang digunakan terdiri dari berbagai macam, sesuai dengan trah masing-masing warga setempat. Pandangan di kalangan masyakarakat yang majemuk seperti di Desa Adat Dalem Setra Batununggul kian berkembang.
Berbagai pertimbangan telah dilakukan baik berkonsolidasi serta konsultasi bersama Ida Pedanda. Dengan pertimbangan yang matang demi kebersamaan dan meringankan beban masyarakat, akhirnya dipilih menggunakan bogem, bukan bade. Dewa Anom Astika menjelaskan esensi palebon itu ada pada ritual bukan di ranah seremonial, jadi bogem yang dipilih berdasarkan pertimbangan yang matang.
Dia menambahkan, bogem merupakan personifikasi dari sarkofagus, dimana waktu dulu para raja-raja menggunakan hal itu. Perkembangan budaya akhirnya menjadi bogem. Secara makna dan filosofinya juga sama dengan bade tetapi semua trah bisa menggunakan bogem.
“Secara biaya dalam palebon kali ini sangat diringankan, karena dilakukan secara bersama dan gotong-royong. Begitu juga dengan pelaksanaan aktivitas persiapan dalam tiga bulan terakhir. Setiap krama seminggu datang dan krama bisa beraktivitas bekerja seperti biasa yang terpenting bisa mengaturnya,” tutup Dewa Anom Astika. (Bagiarta/balipost)