Pesawat Garuda berada di Apron Bandara Ngurah Rai, Badung, Bali. (BP/Dokumen)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Maskapai penerbangan Garuda Indonesia saat ini telah mencatatkan pertumbuhan penumpang, rata-rata 600.000 sebulan, baik penumpang domestik maupun internasional. Kenaikan jumlah penumpang ini tak terlepas dari kebijakan kelonggaran bepergian yang diberlakukan pemerintah. Demikian disampaikan Direktur Layanan dan Niaga Garuda Indonesia, Ade R Susardi, saat press conference Garuda Online Travel Fair (GOTF), Selasa (18/7).

Karena potensi itu, Garuda berencana membuka kembali rute-rute yang ditutup saat pandemi COVID-19. “Hampir semua rute sudah kembali kami layani kecuali ke negara yang masih tertutup seperti China, Guangzhou, Hongkong. Sedangkan Shanghai dan Beijing belum rutin,” ujarnya.

Baca juga:  WNA ke Indonesia Harus Jalani 8 Hari Karantina, Ini Pertimbangannya

Ia menyebutkan jumlah penumpang domestik dan internasional saat ini cukup signifikan. Jumlah penumpang internasional yang tinggi terutama dari Eropa khususnya Amsterdam dengan tingkat keterisian atau seat load factor (SLF) tinggi pada periode Juli ini. Ditambah dengan adanya program online travel fair menurutnya sangat efektif mendongkrak peningkatan pertumbuhan penumpang pesawat udara.

“Sebelumnya kita tergantung pada travel fair tradisional (offline), tapi saat pandemi mulai bergeser dengan online, apalagi dibantu bank dan online tiket booking, mempermudah memesan tiket apalagi dapat harga khusus,” ujarnya.

Baca juga:  5 Tahun Terakhir, Setoran Dividen dan Pajak BRI Capai Rp136,5 Triliun

Ia mengungkapkan kondisi saat ini telah jauh berubah dibanding pandemi. Saat pandemi, penumpang yang diangkut sangat rendah bahkan mencapai 30.000 sebulan. Sementara sebelum pandemi, angkutan penumpang mencapai 1 jutaan lebih sebulan.

Diakui, kondisi saat ini belum pulih seperti sebelum pandemi. Namun ia memperkirakan 2024 akan kembali seperti sebelum pandemi.

Dari sisi nilai transaksi, secara keseluruhan sebulan mencapai Rp 1,5 triliun lebih. Menurutnya untuk memutuskan terbang ke suatu negara atau rute harus profit.

Baca juga:  Indonesia Masuk 10 Negara Terbaik Dikunjungi Versi Lonely Planet

“Sekarang masih mengaktifkan kembali rute sebelumnya. Misalnya dulu Jepang kita terbang ke Osaka, sekarang  kita enga terbang. Untuk Australia, Melbourne dan Sydney kita terbang tapi Perth engga, tapi Citilink yang ke Perth,” bebernya.

Diakui dengan pulihnya penumpang, biaya operasional bisa tertutupi namun efisiensi internal masih dilakukan. “Secara operation kita sebenarnya sudah untung dari tahun lalu,” tandansya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN