LaNyalla Mahmud Mattalitti. (BP/Istimewa)

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Tanggal 17 April 2023, menjadi hari bersejarah bagi sistem tata negara di Afrika Selatan. Karena pada hari Senin itu, Presiden Afsel Cyril Ramaphosa, menandatangani Undang-Undang yang membuka peluang masuknya anggota DPR dari unsur non-partai politik. Atau anggota DPR Independen.

Afrika Selatan menambah panjang daftar negara yang memberi ruang hadirnya anggota DPR dari unsur perseorangan. Setelah 12 Negara di Uni Eropa. Bulgaria, Cyprus, Denmark, Estonia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Lithuania, Malta, dan Romania.

Sebelumnya, United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat juga membolehkan. Calon independen duduk pada badan perwakilan nasional (Parlemen), yang mewakili rakyat di kamar lower house (DPR).

Perkembangan calon perseorangan atau independen di DPR, mengarahkan kita pada pertanyaan fundamental: Mengapa perlu unsur perseorangan di DPR, apa yang diharapkan?

Di Indonesia, DPR adalah pembentuk Undang-Undang. Bersama Presiden. Begitu bunyi Konstitusi. Baik termaktub di dalam Naskah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, maupun Naskah UUD hasil perubahan tahun 2002.

Bedanya, jika di dalam Naskah UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, tidak terdapat pasal yang menyatakan bahwa Anggota DPR adalah anggota Partai Politik, maka di dalam Naskah UUD hasil perubahan tahun 2002 menyebut dengan jelas. Dalam Bab VIIB Pasal 22E Ayat (3).

Bunyinya; Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.

Baca juga:  Hokky Caraka dan Tiga Presiden

Sedangkan di Ayat (4), tertulis: Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.

Sementara di Pasal 20 Ayat (1) jelas tertulis: Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Sebaliknya, Dewan Perwakilan Daerah yang juga peserta Pemilu dari Unsur Perseorangan, faktanya tidak memegang kekuasaan membentuk undang-undang, seperti frasa kalimat di Pasal 20 Ayat (1) tersebut.

Jadi, di Indonesia, Undang-Undang yang memiliki kekuatan hukum mengikat (law enforcement) kepada 275 juta penduduk, kita percayakan pembuatannya hanya kepada anggota-anggota Partai Politik di DPR.

Yang menurut anggota DPR RI, Bambang Pacul, mereka bekerja atas perintah Ketua Umum. Artinya, pembuatan UU yang secara langsung ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, kita serahkan (saat ini) kepada 9 Orang Ketua Umum Partai yang memiliki anggota DPR di Senayan.

Demokrasi di Indonesia memang luar biasa. Artinya negara ini (saat ini) benar-benar di bawah kendali 9 Ketua Umum Partai dan seorang Presiden terpilih.

Sehingga semua teori tentang demokrasi dan hakikat demokrasi tidak akan pernah tepat, bila kita dekatkan dengan praktek tata negara Indonesia hari ini.

Meskipun di dalam Genealogi politik dari demokrasi, negara dan pemerintah harus patuh kepada kepentingan rakyat, sebagai pemilik kedaulatan. Tetapi faktanya justru dibalik. Rakyat yang harus patuh pada kebijakan negara melalui (law enforcement) Undang-Undang.

Baca juga:  Hadapi Tantangan Global, Ketua DPD : Kembali ke Pancasila

Pertanyaan berikutnya; Apakah anggota DPR yang tunduk kepada arahan Ketua Umum, dan patuh pada satu suara Fraksi, serta terbayangi dengan ancaman re-call, patut disebut sebagai wakil rakyat?

Apakah mungkin seorang anggota DPR mampu berjanji kepada organisasi kedokteran untuk memperjuangkan aspirasi mereka di dalam pembahasan RUU Kesehatan? Sementara suara fraksinya sudah menyatakan mendukung RUU yang diajukan pemerintah?

Jadi, siapa sejatinya anggota DPR itu? Wakil rakyat atau wakil partai? Untuk menjawab, ada baiknya kita membaca UU tentang Partai Politik.

Partai Politik menurut UU Nomor 2 Tahun 2008, di Pasal 1 Ayat (1) jelas menandakan adanya kata kunci ‘kelompok’. Yang memperjuangkan kepentingan politik anggota dan kelompoknya.

Karena urutan kalimat di dalam Pasal tersebut menempatkan kepentingan anggota sebagai prioritas. Sebelum kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Jadi sekali lagi. Kita menyerahkan pembentukan Undang-Undang yang mengikat secara hukum seluruh penduduk Indonesia, kepada sekelompok orang yang memperjuangkan kepentingan kelompoknya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Lebih celaka lagi, jika praktek organisasi di dalam kelompok tersebut, menempatkan kendali tunggal berada di tangan satu orang yang disebut Ketua Umum.

Sehingga, jika Presiden terpilih membangun koalisi dengan Ketua-Ketua Partai, maka kemanapun negara ini akan dibawa, terserah mereka. Rakyat sama sekali tidak memiliki ruang kedaulatan.

Baca juga:  Jengah Melawan Covid-19

Satu contoh saja, bila suatu ketika nanti, terdapat 5 partai politik yang lolos di Senayan, lalu ke-5 partai tersebut menjalin koalisi tunggal dengan Presiden terpilih, maka sejatinya ke-5 partai tersebut adalah Five In One. Ibarat satu partai.

Lantas apa bedanya dengan Negara Komunis Tiongkok dengan partai tunggal; PKT. Yang selalu satu langkah dengan pemerintah? Karena memang hanya ada partai tunggal, yang juga partai pemerintah.

Sehingga tidak aneh bila anggota DPR kita di Senayan sangat galak, bahkan menggebrak-gebrak meja saat hearing terhadap persoalan-persoalan yang bukan fundamental.

Tetapi kita bisa melihat sebaliknya, betapa cepat Rancangan Undang-Undang yang dikehendaki pemerintah diselesaikan dan diputuskan. Meskipun hampir setiap hari rakyat protes di depan pintu gerbang Gedung DPR.

Oleh karena itu, terobosan musti dibuat. Untuk memastikan representasi di dalam pembuatan aturan hukum dan Undang-Undang tidak hanya dibasiskan dari Political Group Representative semata. Tetapi juga terdapat saringan dan keterlibatan utuh dari People Representative.

Di sinilah mengapa anggota DPR dari unsur perseorangan atau non-partisan menjadi tren di dunia internasional. Semoga kesadaran ini segera menular ke Indonesia. Karena kita harus membangun demokrasi. Bukan membangun dominasi. Sehingga Indonesia menjadi lebih baik.

Penulis adalah Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

BAGIKAN