Sejumlah warga menyampaikan aspirasi ke DPRD Bangli. (BP/Ina)

BANGLI, BALIPOST. com – Sejumlah warga keberatan dan menolak rencana pembangunan resort yang akan dilakukan investor di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Batur, Kintamani. Warga yang keberatan tersebut menyampaikan aspirasinya ke DPRD Bangli, Senin (24/7).

Kedatangan warga diterima Ketua DPRD Bangli Ketut Suastika, Wakil Ketua DPRD Bangli Komang Carles dan anggota DPRD Bangli Made Joko Arnawa.

Dalam aspirasinya, warga menyampaikan sejumlah alasan keberatan dan penolakannya atas kehadiran PT. Tanaya Pesona Batur, investor yang akan membangun beberapa fasilitas wisata di kawasan konservasi tersebut. Warga merasa keberatan karena rencana pembangunan akan dilakukan pada kawasan TWA yang selama ini sudah ditempati warga turun -temurun.

Adapun luas lahan TWA yang akan dimanfaatkan oleh investor tersebut yakni 85,66 hektar, sesuai izin yang sudah dikeluarkan kementerian terkait. Namun untuk pembangunan tahap pertama rencananya lahan yang akan dimanfaatkan seluas 22 hektar. Sesuai informasi yang didapat warga, pada lahan tersebut investor akan membangun resort, balai budaya, hot spring dan fasilitas lainnya.

Nia, salah satu warga yang hadir di DPRD Bangli mengungkapkan bahwa warga sudah tinggal di kawasan TWA sejak puluhan tahun. Sebelum tempat itu ditetapkan pemerintah sebagai kawasan konservasi.

Baca juga:  Hampir Seluruh Sekolah di Bangli Siap PTM

Selama menempati kawasan TWA, warga telah berkontribusi menjaga dan melestarikan hutan, seperti dengan melakukan pembibitan pohon dan menjaga hutan dari kebakaran. Namun belakangan hak-hak warga yang tinggal di sana ditiadakan setelah keluarnya izin dari pemerintah untuk PT Tanaya.

Kata Nia, kehadiran investor di kawasan TWA telah memicu terjadinya perpecahan pada warga. Karena ada sebagian kelompok warga yang menyetujui rencana pembangunan tersebut. Kehidupan warga kini terganggu. Warga juga dihantui kecemasan.

Dampak lainnya telah terjadi kerusakan aset warga dari aktifitas pengerjaan alat berat di lokasi, berupa pipa pecah dan kabel listrik putus. Atas kondisi itu dirinya meminta bantuan pemerintah baik DPRD maupun pemerintah daerah untuk sementara waktu menghentikan alat berat yang sudah beroperasi di sana. “Karena pengoperasian alat berat tersebut telah merusak aset warga, pipa pecah, kabel putus. Tapi tidak ada penanganan dari PT Tanaya. Padahal untuk permasalahan tersebut pada tanggal 6 kita sudah sampaikan keberatan tapi tidak ada tindak lanjut,” kata Nia.

Baca juga:  Dari Buaya Muara Hebohkan Warga hingga Tren Kenaikan Kasus COVID-19 di Denpasar

Pihaknya juga mengaku telah meminta pendampingan lembaga bantuan hukum (LBH) terkait permasalahan ini. Sebab warga merasa dipaksa menandatangani perjanjian kerja sama.

Arya Lesmana, warga lainnya menambahkan selama menempati kawasan TWA, warga memanfaatkan lahan yang ada untuk pertanian. Selain itu ada juga yang membuat tambak ikan.

Ia pun mengungkapkan beberapa dampak masalah yang akan dialami warga apabila investor tetap melaksanakan keinginannya melakukan pembangunan di kawasan TWA. Salah satunya masyarakat akan tergusur dari sumber kehidupan mereka selama ini.

“Dari masterplan investor terdapat rencana pembangunan di pinggir danau. Ini sangat berpotensi adanya pemindahan tambak ikan. Sementara masyarakat di sana sudah memiliki kajian sebelum mereka menetapkan tambak ikan yang bagus untuk pertumbuhan ikan. Terkait dengan perkebunan warga juga, apabila perkebunan direlokasi warga jauh dengan sumber air,” katanya.

Potensi dampak sosial lainnya, dikhawatirkan mengganggu keharmonisan warga. “Kita khawatirkan bagaimana nanti kalau investor tetap jalan, masyarakat akan benar-benar terbelah jadi dua,” imbuhnya.

Baca juga:  Bendungan Belum Diperbaiki, Subak Terancam Kekeringan

Sementara itu Reski Pratiwi dari LBH yang mendampingi warga mengatakan hak warga yang tinggal dan mengelola kawasan hutan dengan itikad baik dijamin oleh undang-undang. Tetapi masuknya investor memposisikan warga seolah adalah pelanggar hukum. “Ini terlihat dari cara-cara PT Tanaya bersama Pemda melakukan sosialisasi ke masyarakat, mereka memposisikan warga menempati hutan secara ilegal,” katanya.

Ia pun meminta ke DPRD agar mendesak investor untuk menunda aktifitas alat berat sampai persoalan terselesaikan. Selain itu DPRD diminta mempertanyakan keluarnya ijin investor, sementara hak warga belum jelas. “DPRD juga perlu mempertanyakan ke BKSDA dan Kemen LHK kenapa proses-proses yang mestinya ada, tidak ada, tiba-tiba ijin keluar,” pungkasnya.

Menanggapi aspirasi yang disampaikan warga, Ketua DPRD Bangli Suastika mengaku akan segera mengundang investor terkait dan pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk mengalirkan aspirasi tersebut. Pada prinsipnya, Suastika mengaku siap memperjuangkan keadilan bagi warga. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN