DENPASAR, BALIPOST.com – Walau dituntut kompak oleh JPU dari Kejari Denpasar, namun tiga orang dari lima terdakwa kasus dugaan gratifikasi pembuatan identitas seperti akta kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk orang asing, Selasa (25/7) malam divonis berbeda oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar. Oleh majelis hakim yang diketuai Agus Akhyudi, terdakwa I Ketut Sudana alias Rene (mantan honorer kantor Camat) divonis dia tahun penjara.
Sedangkan I Wayan Sunaryo (kelian) dan Nur Kasinayati Marsudiono divonis masing-masing selama setahun penjara. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa.
JPU Catur Rianita dan Mia Fida Erliyah di hadapan majelis hakim Pengadilan Tipikor Denpasar sebelumnya kompak menuntut tiga terdakwa tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama dua tahun dan enam bulan (2, 5 tahun). Terdakwa dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo, Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 Ayat (1).
Sampaikan Pledoi
Sementara itu, pascadituntut pidana penjara selama tiga tahun oleh JPU Catur Rianita dan Mia Fida Erliyah dkk., Agung Nizar yang mempunyai nama asli Mohammad Nizar Zghaib asal Syria, Selasa (25/7) malam diberikan kesempatan majelis hakim memberikan tanggapan atau pledoi dalam perkara dugaan penyuapan pengurusan identitas KTP, KK dan Akta Kelahiran. Tidak hanya Nizar, terdakwa Krynin Rodion alias Alexandre Nur Rudi asal Ukraina yang dituntut pidana penjara selama dua tahun dan enam bulan juga mendapatkan hak yang sama, yakni mengajukan pembelaan atas tuntutan jaksa.
Yang menarik, adalah pledoi pribadi Nizar yang disampaikan hingga malam di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Nizar dalam pledoinya membantah keras disebut melakukan penyuapan terhadap penyelenggara negara. Namun sebaliknya, pria asal Syria itu mengaku dia bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban skema pemerasan yang rumit. “Saya meminta pengadilan mempertimbangkan keadaan seputar pertukaran uang dan mengakui perbedaan besar antara penyuapan dan pemerasan dengan manipulasi data,” sebut Nizar.
Lanjut dia, penyuapan adalah tuduhan yang serius bagi dirinya. Majelis hakim diminta mempertimbangkan fakta hukum dan bukti-bukti karena penyuapan membutuhkan bukti kesalahan yang jelas dan tegas. JPU dituding tidak dapat membuktikan hal tersebut.
Dalilnya, beberapa pihak memberikan bukti yang tidak berkaitan dengan dirinya. Tetapi malah berusaha mengaitkan itu dengan terdakwa supaya ikut terseret dalam lingkaran kasus tersebut. “Tuduhan penyuapan terhadap saya adalah kesalahpahaman yang serius. Dan saya yakin bahwa pengadilan, setelah meninjau bukti dan keadaan, akan sampai pada kesimpulan yang sama. Saya dengan hormat meminta agar pengadilan mempertimbangkan permohonan saya dan membantu memberikan keadilan tidak hanya kepada saya, tetapi juga kepada pelaku sebenarnya yang terus mengancam dan memeras saya,” ucap Nizar.
Dalam pledoi terpisah, kuasa hukum terdakwa dalam sidang Selasa malam, Benny Hariyono dkk., menjelaskan Nizar adalah korban dari kasus pemalsuan keterangan dalam dokumen. Namun justru ditarik dalam kasus tindak pidana korupsi ini. “Jaksa telah melakukan kesalahan, jaksa terlalu mendramatisir dakwaan dan cenderung keluar dari pokok perkara yang terjadi sebenarnya. Sehingga surat dakwaan memberatkan terdakwa dan tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Perbuatan melawan hukum yang didakwakan oleh JPU tidak berdasarkan fakta yang terjadi yang harus dinyatakan tidak dapat diterima karena kabur atau obscuur libel,” jelasnya.
Atas apa yang disampaikan di hadapan hakim tipikor yang diketuai Agus Akhyudi, terdakwa minta dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya dari segala tuntutan jaksa. (miasa/balipost)