DENPASAR, BALIPOST.com – Umat Hindu se-Dharma sebentar lagi akan merayakan Hari Raya Suci Galungan yang jatuh pada 2 Agustus 2023. Hari Raya Suci Galungan yang dirayakan setiap 6 bulan sekali ini, tepatnya Buda Kliwon Dungulan merupakan hari suci besar umat Hindu untuk memaknai hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan). Lalu, bagaimana umat Hindu, khususnya di Bali dalam memaknai ritual Hari Raya Suci Galungan ini?
Akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si., mengatakan bahwa perayaan hari raya suci Galungan merupakan upacara rutinitas keagamaan umat Hindu yang diperingati setiap 210 hari (6 bulan kalender Bali). Namun, karena saking rutinnya merayakan hari raya suci Galungan umat sering terjebak pada rutinitas.
Sehingga, makna yang terdalam yang terkandung dalam hari raya suci Galungan sering terabaikan. Sebab, dalam lontar Sundarigama sudah tersurat dan tersirat dengan tegas bahwa Galungan adalah hakikat dimana umat harus memusatkan dan mengkonsentrasikan fikiran untuk mencapai kesadaran dan pencerahan yang digunakan untuk menghilangkan segala macam kekacuan/kekotoran pikiran (idep). Sebab, segala sesuatu bersumber dari pikiran.
“Karena itu, momen galungan adalah momen ritual bagaimana kita mencerahkan diri, intelektualitas kita ditingkatkan dibalik ritualitas simbolik,” ujar Ketut Widana dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Perayaan Hari Suci Galungan: Makna dan Ritual” di Warung Coffee 63 A Denpasar, Rabu (26/7).
Akademisi Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H., menambahkan hari raya Galungan mestinya dimaknai sebagai hari suci, bukan hari raya. Sehingga dalam menyambutnya dilakukan dengan penuh kehikmatan, penuh keyakinan dan penuh dengan sradha yang menguatkan bahwa pada hari itulah anugerah akan datang pada umat.
Dikatakan, hari suci galungan yang dirayakan secara rutinitas sarat dengan makna. Dimana, galungan sendiri bermakna kemenangan dari segala macam pertikaian. Maka, hari suci galungan sesungguhnya ada brata-brata tertentu yang terjadi yang mesti dilakukan sampai pada puncaknya, yaitu Buda Kliwon Dungulan.
Sebelum puncaknya, ada brata-brata khusus yang tidak bisa diabaikan. Misalnya pada Tumpek Bubuh, kita bercerita kepada tumbuhan untuk mempersiapkan diri bahwa akan ada piodalan jagat. Lalu kemudian pada Rabu Sungsang, yaitu Sugian Pengenteg, Sugian Jawa, Sugian Bali, Penyekeban (turunnya tiga buta wisesa), penyajahan, dan penampahan galungan (nyomia ketamakan/rajas) yang dilanjutkan dengan pasang penjor sebagai bentuk kemenangan.
Kadek Satria, mengungkapkan bahwa manifestasi Tuhan yang disembah pada hari suci galungan adalah Dewi Durga. Sehingga, hanya pada saat hari suci galungan saja adanya penampahan. Konteks penampahan galungan adalah ada hewan kurban yang dipersembahkan yaitu Babi. Babi yang dipotong inilah yang dipersembahkan di tugu pekarangan sebagai bentuk nyomia unsur-unsur amangkurat (ego) pada manusia.
Terkait dengan adanya pemberitaan penampahan galungan dimajukan karena bertepatan dengan rahina purnama, Ketua PHDI Provinsi Bali, I Nyoman Kenak, menegaskan bahwa penampahan tetap dilaksanakan sehari sebelum hari suci galungan atau sesuai dengan dresta masing-masing. Hal ini telah diperkuat dengan SE PHDI Provinsi Bali Nomor 225/PHDI Bali/VII/2023. Namun, pelaksanaan penampahan disertai “ngaturang banten” untuk “Nyomya Ida Hyang Kala Tiga”, yang turun ke bumi pada hari itu.
Dengan memohon keselamatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya. Selain itu, umat tetap “Ngaturang banten/persembahyangan hari Purnama seperti biasa, yang dipersembahkan kehadapan Sanghyang Candra, dan Sanghyang Ketu sebagai dewa kecemerlangan untuk memohon kesempurnaan dan cahaya suci dari Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud Ista Dewata.
Nyoman Kenak, berharap pada hari suci galungan ini umat Hindu benar-benar memaknainya dengan penuh kekhusukan. Sehingga, kemenangan dharma melawan adharma tetap menjadi modal bagi umat Hindu dalam menjalani hidup dalam kehidupan di dunia ini. (Winatha/balipost)