Oleh I Gusti Ketut Widana
Umat Hindu sangat paham, bahwa filosofi Galungan bermakna kemenangan Dharma atas Adharma. Dharma artinya kebenaran dan adharma berarti ketidakbenaran. Bagaimana cara mengalahkan adharma agar dharma keluar sebagai pemenang?
Ini yang kebanyakan umat belum mengerti. Padahal
secara sederhana, mengutip lagu penyanyi lawas Ebiet G. Ade dengan judul “Untuk Kita Renungkan”. Makna tersebut di sini teramat dalam mengondisikan diri agar benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin.
Untuk apa mengajak umat menengok ke dalam diri (mulat sarira), sebelum bicara tentang kemenangan Dharma, singkirkan dulu debu-debu Adharma (kekotoran) yang masih melekat dan tetap eksis bermanifestasi dengan segala bentuk keburukan atau kejahatannya.
Ritual suci Galungan, dilaksanakan setiap Budha Kliwon Wuku Dungulan disebut juga Pawedalan Jagat atau Otonan Gumi (semacam ulang tahun). Lalu apa kado
istimewa yang bisa dipersembahkan umat kepada bumi
ini? Tentu tidak cukup dengan atraksi ngelawar, tradisi
mamenjor plus sesaji persembahan banten Galungan semata. Sebab, semakin mengentalnya kadar ritual dalam kehidupan beragama dengan frekuensi dan durasi tiada henti, tanpa disadari akan mendegradasi spiritualitas yang berfungsi reflektif, kontemplatif sekaligus evaluatif.
Diharapkan dapat menautkan sisi ketuhanan dengan misi kemanusiaan serta aksi cinta lingkungan. Artinya, sebuah aktivitas ritual apalagi sebesar hari suci Galungan, filosofi kemenangan Dharma atas Adharma
hendaknya mampu melahirkan missi penyelamatan alam lingkungan sebagai pemasok kebutuhan hidup dan penyuplai piranti ritual yadnya, lanjut menjelmakan
aksi nyata pelestarian sumber daya hayati.
Kemenangan Dharma tidak lagi bersifat abstrak tetapi berwujud kongkrit yang dapat dibuktikan manfaatnya. Sebab tatkala terjadi ketidakseimbangan alam antara
ketersediaan terbatas dan pemanfaatan berlebihan, pasti menimbulkan efek domino yang dampaknya menyentuh bidang kehidupan lainnya.
Semisal dalam konteks ekonomi, meningkatnya kebutuhan belanja material ritual yadnya dapat memacu dan memicu inflansi. Bahkan berita terakhir, langkanya pasokan gas elpiji melon 3 kilogram diduga karena Galungan (BP, 29/7).
Sungguh miris sekaligus ironis, bisa juga bertendensi sinis, betapa kegiatan religi berlandaskan teologi, mengandung nilai filosofi serta disugesti mitologi bernuansa magis dan bermisi kesucian hati menyembah Hyang Widhi, justru dijadikan “biang keladi” (takut menyebut biang kerok) penyebab terganggunya urusan ekonomi. Saat ini, dimana urusan ritual sudah
menjelma menjadi kebutuhan material, maka hukum ekonomi pasti menjeratnya.
Menjadilah kebutuhan ritual masuk sebagai barang konsumsi (komoditi) hidup manusia, khususnya umat Hindu, seperti halnya pangan (makanan-minuman), sandang (pakaian) dan papan (perumahan). Oleh karena itu, umat patut memahami, yang namanya aktivitas ritual yadnya, apapun bentuk dan jenis upacaranya, termasuk hari suci Galungan tetap bermakna simbolik.
Jika secara rituaslistik, Galungan adalah sebagai Pawedalan Jagat/Otonan Gumi, pertanyaannya, sudahkan kita merealisasikan kemenangan Dharma dalam bentuk aksi merawat, menjaga dan melestarikan
jagat/bumi berserta isinya guna meredam bahkan memadamkan nafsu adharma para pengguna atau perusak alam?
Sehingga dengan begitu tidak terjadi kekurangan pasokan berbagai kebutuhan hidup manusia, lebih jauh lagi dapat mencegah terjadinya musibah bencana alam.
Suratan kitab suci Bhagawadgita, III.14 dengan jelas menegaskan: “adanya makhluk hidup karena makanan, adanya makanan karena hujan, adanya hujan karena yadnya, dan adanya yadnya karena karma”. Jadi, kata kuncinya adalah “karma”, Perbuatan, tindakan, tepatnya aksi nyata sehingga yadnya tetap berjalan, hujan penyubur bumi secara musiman terus turun, kebutuhan hidup seperti makanan ajeg berlangsung, dan keberadaan makhluk hidup di muka bumi pun dengan damai berkesimbanungan tanpa ada masalah apalagi musibah.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar.