JAKARTA, BALIPOST.com – Indonesia memiliki potensi besar, tersebar, dan beragam untuk mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT). Adapun, pemanfaatan EBT yang ditargetkan sebesar 23 persen pada 2025 sebagaimana di dalam kebijakan energi nasional.
“Bahwa kita memiliki target 23 persen, di 2022 baru sekitar 12,3 persen mungkin sekarang sudah mendekati 14 persen. Jadi, masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus kami kerjakan bersama-sama,” kata Analis Kebijakan Ahli Madya Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Nurcahyanto, dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (10/8).
Hal itu disampaikannya saat seminar Bridging the Cross-Sectoral Gap in Pursuing More Ambitious Climate Targets in Indonesia yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dipantau secara daring, Kamis.
Ia mengungkapkan bahwa potensi EBT di Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW) dari energi surya, hidro, bioenergi, bayu, panas bumi, dan laut. Saat ini, pemanfaatan EBT tersebut berada di angka 12.669 megawatt (MW).
“Potensi ini cukup besar, ESDM mencatat bahwa total tidak kurang dari potensi 3.687 GW, jadi untuk EBT ini yang digunakan kami di ESDM melakukan modeling untuk NZE (net zero emission). Ini yang nantinya tantangan bagi ESDM dan juga kami selaku regulator bagaimana memanfaatkan potensi ini,” kata Nurcahyanto.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa pemerintah juga mempunyai target dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi sesuai yang tercantum dalam dokumen enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Target pengurangan emisi GRK sektor energi sebesar 358 juta ton CO2e dengan kemampuan sendiri.
“Kami memiliki target di 2023 itu mencapai penurunan emisi sekitar 132 (juta ton CO2e), angka ini sekitar 37 persen dari total target enhanced NDC yang di angka 358 juta ton. Jadi, tidak main-main dalam hal melakukan efisiensi dan agenda-agenda yang kami lakukan seperti adanya manajemen energi, lalu juga kita memiliki penerapan dari electric vehicle. Hal-hal seperti ini lah yang nantinya menjadi tantangan untuk kegiatan efisiensi energi,” tuturnya.
Selanjutnya terkait dengan peta jalan NZE sektor energi, pengurangan emisi GRK sektor energi diproyeksikan sebesar 93 persen dari Business as Usual (BaU) melalui optimalisasi suplai dengan energi EBT dan demand dengan menerapkan efisiensi energi. Adapun, sisa emisi yang dihasilkan sebesar 192 juta ton CO2e pada 2060.
“Bahwa angka yang kami tuju di tahun 2060 adalah emisi sisa sekitar 192 juta ton itu didapat dari dekarbonisasi PLTU yang mana kami sampaikan bahwa kami memiliki road map bagaimana dekarbonisasi melalui Perpres 112 (Tahun 2022) kemudian adanya keinginan untuk early retirement (pensiun dini PLTU) lebih cepat,” ujar Nurcahyanto.
Moratorium PLTU dan pensiun dini PLTU yang sudah ada merupakan salah satu dari strategi mencapai NZE 2060. Beberapa strategi lainnya, yakni elektrifikasi (kendaraan listrik, kompor induksi, elektrifikasi pertanian, dan lain-lain), pengembangan EBT, penerapan teknologi carbon capture storage dan carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS), sumber energi baru (hidrogen dan amonia) serta penerapan efisiensi energi.
Selain itu, kata Nurcahyanto, untuk menuju NZE 2060 juga dibutuhkan pembangkit energi terbarukan yang masif. Total kapasitas pembangkitnya sebesar 708 GW terdiri atas PLTS 421 GW, PLTB 94 GW, PLTA 72 GW, PLTBio 60 GW, PLTN 31 GW, PLTP 22 GW, dan PLTAL 8 GW.
“Pengembangan EBT ini adalah kunci bagaimana upaya dari dekarbonisasi dan transisi energi di Indonesia. Besarnya kapasitas yang akan akan kami bangun tahun 2060, diprediksi kami membutuhkan sekitar 708 GW dan itu didominasi oleh PLTS dan juga beberapa renewable energy seperti PLTP dan kemudian ada juga PLTBio,” kata dia. (Kmb/Balipost)