DENPASAR, BALIPOST.com – Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Kamis (10/8), mengatakan pers tanpa inovasi digital tak akan mampu bertahan. Berbicara dalam Dialog Nasional bertajuk “Transformasi Bisnis Media untuk Bangkit Bersama” serangkaian HUT ke-77 Serikat Perusahaan Pers di Denpasar, Bali, Ninik mengatakan ada 3 aspek transformasi digital dihadapi media di tengah arus transformasi digital, yaitu konten, teknologi, dan bisnis.
Ia menekankan media harus melakukan adaptasi teknologi dan pengelolaan bisnis yang tepat agar bisa bertahan sekaligus tetap menjaga karya jurnalistik berkualitas. Upaya inovasi perusahaan pers bertransformasi digital yang dilakukan adalah untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan menopang pers untuk menghasilkan karya jurnalistik berkualitas.
Selain itu, konvergensi media dan peralihan medium pers dari semula cetak menjadi siber, merupakan bagian dari inovasi dan adaptasi di era transformasi digital. Namun, migrasi bentuk saja tidak cukup, perlu inovasi kreatif lainnya untuk menghadirkan keunikan (uniqness) dan nilai lebih (added value).
“Pers tanpa inovasi digital tidak akan mampu bertahan, atau sebaliknya malah menjadi hama dalam kemerdekaan pers, karena tidak menghasilkan karya jurnalistik berkualitas, mengandalkan penghasilan dari sumber-sumber konvensional yang makin terbatas, atau mengalah pada algoritma,” ujar Ninik.
Ninik mengungkapkan berdasarkan riset Dewan Pers bekerjasama dengan Universitas Moestopo Beragama (2019), bahwa 34% responden tidak pernah membaca surat kabar harian, 24,9% responden masih membaca surat kabar harian setiap hari, 30,1% responden membaca surat kabar harian 1-2 kali seminggu, dan 10,5% responden menyebutkan membaca surat kabar harian kurang dari 5 kali sebulan.
Selain itu, konsumsi media cetak jenis Mingguan/Tabloid/Majalah Berita, 44,71% hampir tidak pernah membaca. Sebanyak 29,31% membacanya 1-2 kali seminggu, 14,80% membaca media ini kurang dari 5 kali sebulan dan 11,18% membaca media jenis ini setiap hari. Untuk media siber, sebanyak 46,57% mengakses media siber setidaknya kurang dari 2 jam per hari.
Sebanyak 35,59% mengakses media siber selama 2-8 jam perhari dan 6,08% lebih dari 8 jam perhari dalam mengakses media siber. Namun demikian, 11,76% mengaku tidak pernah mengakses media siber.
Sedangkan, tingkat ketidakpercayaan pada media jauh lebih tinggi pada media siber (25%) ketimbang surat kabar harian (14%), dan surat kabar mingguan/tabloid/majalah berita (17%). Alasan kepercayaan pada media arus utama, yakni data dan fakta yang disajikan (65,88%), nama medianya terpercaya (20,49%), narasumber berita (13,63%).
Oleh karena itu, untuk menjaga jurnalisme berkualitas di tengah gempuran tuntutan kecepatan informasi dan algoritma di ekosistem digital, perusahaan pers dan wartawan mesti berteguh pada KEJ dan ketentuan lainnya, meningkatkan kapasitas jurnalisme, memenuhi hak jawab dan rekomendasi lainnya (dalam hal terdapat pengaduan ke Dewan Pers). Selain itu, regulasi pemerintah yang meletakkan tanggung jawab platform digital mendukung jurnalisme berkualitas harus ada dari negara.
Negara juga menyediakan dukungan/insentif kepada perusahaan pers yang konsisten menghadirkan jurnalisme berkualitas. Peran masyarakat juga sangat dibutuhkan. Terutama ikut memantau media yang aktif (melakukan pengawasan terhafap media), dan gerakan literasi media (tangkal hoax dll).
Tidak hanya itu, meneguhkan pers dalam transformasi digital, perlu juga saling berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem pers yang sehat, berinvestasi dalam teknologi dan sumber daya manusia, dan mengembangkan inovasi bisnis dan diversifikasi sumber revenue (subscription, pelatihan online, EO, jasa live streaming, jasa pengembangan teknologi digital, dll). Serta, konsisten menghadirkan karya jurnalistik berkualitas, termasuk untuk menangkal mis-informasi, dis-informasi, dan mal-informasi. (Winatha/balipost)