Wijana menunjukan hasil Lukisan Kaca miliknya. (BP/yud)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Di sebuah kawasan, tepatnya di Dusun Delod Margi, Desa Nagasepaha berdiri sebuah rumah sederhana. Dari sisi luar rumah tampak biasa saja. Siapa sangka di dalamnya merupakan studio tempat menyimpan puluhan karya seni lukis.

Di beberapa sudut rumah, terdapat peralatan untuk melukis; kuas, cat, kaleng bekas, kaca, pisau dan alat lainnya. Dari semua peralatan yang terlihat, rumah sederhana itu menyimpan harta karun seni, seni yang sudah teramat langka, seni lukisan wayang kaca.

Studio itu merupakan milik almarhum Ketut Santosa (53) yang merupakan salah satu pelukis kebanggaan Desa Nagasepaha. Semua karya yang ada di studio ini, kini diwariskan kepada anaknya, Made Wijana. Pria 28 tahun ini merupakan pelukis muda yang masih aktif menggeluti warisan dari leluhurnya.

Wijana pun tak ragu menunjukan hasil karya lukisan dari masa ke masa sembari menceritakan sejarah awal munculnya Lukisan Kaca di Desa Nagasepaha.

Sejarah seni lukis Kaca di Desa Nagasepaha dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Tepatnya pada tahun 1927. Pada masa itu, salah satu saudagar (orang kaya) Wayan Nitya berencana membuat Lukisan Kaca.

Pihaknya lantas membawa contoh Lukisan Kaca dengan gambar Perempuan Berkimono. Namun dalam perjalanannya, Nitya bingung siapa yang pantas untuk disuruh membuat lukisan ini. Seiring berjalannya waktu, dirinya berkunjung ke kediaman Ketut Negara atau yang akrab disapa Jro Dalang Diah.

Pada masa itu, Jro Dalang Diah yang bekerja sebagai pemahat wayang kulit dan juga dalang diyakini mampu membuat Lukisan Kaca seperti yang diinginkannya. Lantas Jro Dalang Diah pun menyanggupi membuatkan Lukisan Wayang Kaca dengan syarat, Lukisan Perempuan Berkimono yang dibawa Wayan Nitya itu harus ia eksperimen dan teliti. Hal ini guna mempelajari gaya melukis yang terbalik itu.

Setelah keduanya mencapai kesepakatan, Jro Dalang Diah pun membuat karya pertamanya sesuai dengan permintaan Wayan Nitya dengan Lukisan Bertajuk “Arjuna Wiwaha.”

Dari situlah awal mula perjalanan Seni Lukis Wayang Kaca di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng. Berkat keahlian tangan seninya, Jro Dalang Diah pun membuat puluhan karya.

Baca juga:  Sedang Asyik Nonton TV, Longsor Ambrolkan Tembok Batako Rumah Semi Permanen Warga Desa Nagasepaha

Karya-karyanya, pada waktu itu, diberikan ke sejumlah kerabat dan teman dekatnya. Bahkan di masa itu, Jro Dalang Diah pun menularkan keahliannya ke kerabatnya I Wayan Sanggra.

Keahlian membuat Lukisan Kaca Nagasepaha ini pun masih digeluti oleh penerusnya. Jro Dalang Diah mewarisi kepada anaknya, yakni Nyoman Subrata (alm), Ketut Sekar dan Ketut Suamba (alm) yang kemudian diteruskan kembali oleh Ketut Santosa (alm), Made Wijana, Wayan Arnawa dan Kadek Rusdiasa. Sedangkan I Wayan Sanggra hanya mewarisi kepada sang anak, I Nyoman Netep dan cucunya Kadek Suradi.

Semenjak kepergian Jro Dalang Diah pada 2010, beberapa anaknya pun meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh sang ayah. Mereka membuat karya mulai dari cerita pewayangan Mahabarata hingga Ramayana dan Lukisan Akta Kelahiran.

Dilanjutkan oleh beberapa anaknya, perjalanan seni lukisan kaca nampaknya kurang berjalan mulus. Penghasilan yang tidak seberapa ditambah pengerjaan lukisan yang sulit membuat beberapa anaknya beralih profesi untuk menghidupi keluarga. Mereka lebih memilih sebagai tukang ukir pasir hitam, pembuat bade, hingga pembuat wayang kulit.

Hingga saat ini, warisan lukisan kaca hanya diteruskan oleh anak dari Nyoman Subrata yakni Ketut Santosa. Pada masa inilah merupakan momen paling berjaya untuk lukisan Kaca Desa Nagasepaha. Pasalnya di tangan  Ketut Santosa, lukisan kaca mulai dikenal masyarakat banyak.

Bahkan sejumlah pameran, baik dalam daerah maupun luar negeri, diikuti oleh Santosa. Pria 53 tahun ini sudah berani mengeksplor kemampuannya, tidak hanya di kaca datar, ia juga melukis di berbagai bentuk kaca, mulai dari botol, toples, gelas, gelas sloki dan benda lain berbahan kaca. Keterampilan tangannya juga berani merubah corak lukisan dari yang klasik dengan kisah pewayangan ke seni lukis yang lebih modern kontemporer.

Namun perjuangan I Ketut Santosa untuk mempertahankan kesenian Lukis Wayang Kaca khas Desa Nagasepaha nampaknya harus berakhir. Santosa mengalami kecelakaan lalu lintas hingga merenggut nyawanya saat akan menuju ke lokasi Pameran Industri Kecil Menengah (IKM) Bali Bangkit di Art Centre Denpasar tahun 2022 lalu.

Baca juga:  Secara Gotong Royong, Desa Adat Nagasepaha Renovasi Pura Beji

Sepeninggal Santosa, banyak yang meyakini perjalanan Seni Lukis Kaca di Desa Nagasepaha akan hilang. Hanya saja, anak kedua dari Ketut Santosa, Made Wijana menjawab keraguan itu.

Wijana tampil apik dengan beragam karya yang dibuat berkat tuntunan dari sang Ayah semasa hidupnya. Wijana yang merupakan lulusan Sarjana Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja ini meneruskan warisan dari buyut hingga sang ayah. Wijana pula merupakan pelukis satu-satunya yang bisa membuat corak lukisan mulai dari Klasik Pewayangan, Corak Modern hingga Corak Kontemporer.

Made Wijana menuturkan bakat yang dimilikinya bersumber dari tuntunan sang ayah. Kini Wijana diwajibkan untuk meneruskan warisan ini sebagai penopang perekonomian keluarga. Termasuk keberadaan sanggar seni lukis kaca yang didirikan oleh almarhum ayahnya.

“Semenjak kepergian bapak, saya sendiri yang meneruskan Lukisan Kaca ini. Satu pesan bapak, harus melanjutkan dan mewariskan ke generasi selanjutnya,” ucap wijana.

Berkat didikan dari almarhum Ketut Santosa inilah, Wijana bangkit kembali. Ia membuat puluhan karya, tidak hanya untuk dijual melainkan ikut berperan serta dalam pameran yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali maupun Kabupaten Buleleng.

“Kalau pameran sudah keliling dan tidak hanya di Bali. Bahkan beberapa waktu lalu, sampai ke Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Kalo almarhum Ketut Santosa sudah sampai keluar negeri memperkenalkan Wayang Kaca ini,” sebutnya.

Ditanya terkait perkembangan Seni Lukis Wayang Kaca, Wijana tegas menjawab. Perkembangan begitu pesatnya di samping pengaruh teknologi saat ini. Wayang Kaca dengan mudah dikenal masyarakat banyak. Hal ini pula sangat mendukung keberadaan Seni Lukis Wayang Kaca, utamanya dari sisi pemasaran produk yang dimiliki.

“Dulu waktu masih jlzaman Jro Dalang Diah, pemasarannya masih door to door (pintu ke pintu) untuk mencari pesanan. Saat ini, hal ini sudah jarang dilakukan. Hanya tinggal upload di media social,” pungkasnya.

Baca juga:  5,886 Km Bibir Pantai di Buleleng Abrasi

Bahkan berkat kemajuan teknologi saat ini, dalam berbagai pameran yang dilakukannya,Wijana selalu hadir. Saat ini Wijana ikut dalam kegiatan Pameran IKM Bali Bangkit yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Bali pada tahun 2023 ini. Bahkan produknya juga dipasarkan di Balimall.id.

Pengalaman berbeda diungkapkan oleh generasi penerus dari I Wayan Sanggra, yakni I Nyoman Netep. Pria 63 tahun ini, kini hanya masih memegang teguh corak klasik pewayangan yang diwariskan oleh sang ayah. Pihaknya sejak dahulu tidak pernah mencoba inovasi seperti yang dilakukan oleh almarhum Ketut Santosa. Pendidikan yang terbatas, ditambah pengalaman yang minim menjadi alasan Netep tidak berani mengeksplor keahliannya.

“Ini merupakan warisan sejak almarhum meninggal. Hanya monoton fokus di corak klasik pewayangan. Sama sekali tidak pernah mengubah ke corak lainnya seperti lukisan-lukisan yang banyak berkembang saat ini,” terangnya.

Sementara itu, salah satu pengamat seni Wayan Sudiarta mengungkapkan keberadaan lukisan kaca memang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan daerah lainnya. Para perajin saat ini masih memegang teguh pakem lukisan dari warisan leluhurnya.

Bahkan beberapa sketsa pewayangan terdahulu yang terbuat dari kertas semen masih disimpan oleh generasinya. “Beberapa dosen kerap melakukan pengabdian masyarakat di Nagasepaha. Kita berikan pemahaman untuk lebih memperhatikan pewarnaan agar lebih natural. Kita juga diajarkan bagaimana memilih tema, pewarnaan hingga latar belakang agar menjadi satu kesatuan yang seimbang,” paparnya.

Menurut Dosen Seni Rupa Undiksha Singaraja ini, beberapa seniman khususnya di Desa Nagasepaha sudah mulai berani bereksperimen. Mereka tidak hanya menciptakan karya di bidang kaca datar, melainkan ada yang digelar, toples. Bahkan ada pula yang beralih dari kaca ke media lainnya dengan memanfaatkan sisa-sisa kulit bawang.

“Mereka lambat laun mulai menyadari dan harus berani berinovasi. Ke depan yang harus perlu dikembangkan oleh para seniman ini, harus berani melukis realis semisal menggambar potret atau foto booth,” terang pria asal Ubud ini. (Komang Yudha/balipost)

BAGIKAN