I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Setiap perayaan Galungan-Kuningan, selalu disertai dengan tradisi ngelawang. Pentas nomaden ini, di masa lalu, menghadirkan puspa ragam seni pertunjukan Bali. Namun, kini yang umum diarak keliling desa adalah Barong Bangkal atau Barong Bangkung, salah satu barong berbentuk babi. Barong berupa hewan omnivora ini beraksi di jalan-jalan umum dan juga menyinggahi rumah-rumah penduduk. Diusung oleh dua orang anak-anak atau remaja pria, kedatangan barong dipercaya memberikan berkah dan keselamatan.

Diiringan dengan babatelan, ansambel gamelan unit kecil yang ditabuh  kurang dari sepuluh orang, Barong Bangkal menghentak-hentakan tapel-nya–topeng berwarna hitam–tak tak tak, menari-nari, melengos, mendongak dan berjingkrak dalam setiap kesempatan. Di sejumlah tempat, penampilan Barong Bangkal disertai keseruan kejar-kejaran dengan para penonton dalam kegaduhan riang gembira.

Hewan babi memiliki keterkaitan erat dengan ritual keagamaan, upacara adat, dan aktivitas profan keseharian masyarakat Hindu di Pulau Dewata. Sehari menjelang Galungan, misalnya, yang disebut penampahan, selain bermuatan psiko-filosofis serta dilatari makna relegi-simbolis, dalam praktik konkretnya adalah nampah atau memotong babi. Makanan  dari olahan daging babi dibuat dengan penuh sukacita.

Lawar, komoh, serapah, sate, oret, urutan, balung, pepesan dan gorengan menjadi kuliner yang umum tersaji hampir di setiap rumah. Ada pula yang secara khusus menggunakan bahan dasar kulit babi membuat makanan kering, kerupuk.

Memang, untuk membuat makanan renyah-gurih ini memerlukan proses tiga tahap yaitu merebus, mengeringkan dan terakhir menggoreng. Namun, kini tak usah ribet, belakangan yang namanya kerupuk babi tak perlu diolah secara amatiran lagi. Kerupuk babi sudah lazim diproduksi secara profesional  yang dijajakan diwarung-warung kecil  hingga di pasar-pasar modern.

Baca juga:  Transformasi Pembiayaan Digital UMKM

Kerupuk merupakan makanan ringan khas Indonesia. Diduga dibawa oleh para pendatang China dan India sekitar abad ke-8 hingga sembilan Masehi, saat menjelajahi Nusantara. Tercatat pada abad ke-10 Masehi, masyarakat Jawa sudah mengenal kerupuk. Dalam perkembangannya, makanan pendamping ini terbuat dari berbagai bahan dasar yang kemudian melabeli namanya.

Varian kerupuk itu, diantaranya, kerupuk udang, kerupuk bawang, kerupuk ikan, kerupuk kulit dan sebagainya. Khusus untuk kerupuk kulit (rambak), dibuat dari kulit hewan herbivora sapi dan kerbau. Babi sebagai hewan pemakan segala, juga bersumbangsih  menambah deretan kerupuk Indonesia. Kelezatan kerupuk babi masyarakat Bali adalah sebuah nikmat duniawi yang dimiliki Indonesia.

Bagi masyarakat Bali pada umumnya, eksistensi babi bersemayam dalam alam dewa-dewa, dunia mistik, budaya magis hingga alam kehidupan nyata. Posisi babi itu melintasi zaman melalui tutur mitologi, sejarah, babad, legenda dan dongeng. Internalisasi tentang babi itu banyak dikisahkan melalui jagat seni. Karena itu, babi betengger ke dalam dimensi makna dihormati takzim namun sekaligus juga sebagai simbolik yang dinapikan. Simak mitologi awatara Dewa Wisnu dalam wujud Waraha.

Syahdan, raksasa Hiranyaksa berkehendak akan menenggelamkan bumi ke lautan kosmik di ruang angkasa. Untuk mencegah niat jahat raksasa itu, Wisnu berubah menjadi babi hutan bertaring panjang, Waraha. Terjadi perang sengit antara Hiranyaksa versus Waraha.

Baca juga:  Menjaga Bumi, Menghadirkan Kesejahteraan

Perang yang berlangsung ribuan tahun itu dimenangkan oleh Dewa Wisnu. Bumi pun kemudian diusung kembali ke orbitnya oleh Waraha menggunakan taringnya yang panjang. Dalam konteks mitologis ini, babi dipuja sebagai penyelamat dan pelindung.

Jagat mistik dalam imaji masyarakat Bali dibayangi siluman babi dari khasanah teluh pangeliakan. Orang yang  ngelekas menjadi siluman babi digolongkan penganut ilmu hitam kelas rendah. Kelas-kelas ilmu sihir ini sering dijadikan bahan dialog yang berbungkus humor oleh para rakyat jelata, bondres, dalam dramatari Calon Arang. Dalam seni pertunjukan barong turistik “Kuntisraya”, siluman berupa babi dieksploitasi kocak, pemancing tawa wisatawan.

Namun sebaliknya dalam ritual sakral, representasi hewan babi, ditabukan adanya derai tawa. Keseriusan dan keanggkeran justru membumbung saat kerauhan pada Sanghyang Celeng. Saat trance, tari Sanghyang Celeng yang keberadaannya dapat dijumpai di belahan Bali Timur ini, mendengus sangar menguak semak dan menyusuri parit di gelapan malam, dipercaya, mumburu dan mengusir wabah penyakit. Komunitas yang terlibat dalam ritual itu hanyut dalam keyakinan yang merasuk.

Cerita yang terkait dengan babi dapat pula disaksikan dalam pementasan teater Topeng. Sumber lakon utama dari seni pertunjukan yang umumnya hadir dalam prosesi keagamaan ini adalah babad, kisah semi sejarah. Salah satu lakon yang dituturkan adalah tentang raja terakhir Bali Kuno yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten atau juga disebut Sri Tapolung.

Secara tradisional, raja Bali yang berstana di Bedahulu pada abad ke-14 itu, dikisahkan dari acuan sitiran babad yang mengutip cerita rakyat. Intinya, Tapolung adalah raja yang berkepala babi. Figur raja sakti yang tak mau tunduk dengan Kerajaan Majapahit ini, bukan hanya ditransmisikan dalam seni pentas klasik, tetapi juga sering dijadikan refertoar teater rakyat Drama Gong dan seni pertunjukan Sendratari dengan sudut pandang yang memposisikan Sri Tapolung sebagai pemimpin zalim.

Baca juga:  Dilema Joged Bumbung

Reposisi dan reinterpretasi kritis bahwa Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten sebagai korban hoax dari politik Gajah Mada, belum diberi ruang artikulatif dalam konsep-artistik dramaturgi seni pertunjukan Bali, baik yang berformat tradisi-klasik maupun dalam seni pentas kontemporer.

Beruntung “kandungan unsur babi” yang ditorehkan warisan mitologi, babad, sejarah, legenda, dan dongeng, dalam kehidupan sosial-relegi-kultural-ekonomi pada masyarakat Bali masa kini, dikelola secara arif-kreatif. Renungi kembali ajaran mulia dibalik Penampahan Galungan. Kegiatan menyembelih babi atau hewan lainnya–kecuali sapi–pada hari tersebut bermakna memotong sifat buruk manusia yang dilumuri bujuk fitnah kekuatan jahat, kalatiga. Jikalau hewan babi  ditautkan sebagai lambang kemalasan, tentu pesan moral untuk membuang jauh-jauh sifat malas seperti yang terkandung  pada filosofi penampahan–rangkaian Galungan sebagai hari kemenangan dharma–adalah amanat yang membinarkan fajar budi kemanusiaan. Karena itu, tidak ada kendala psiko-kultural bagi masyarakat Bali mengkonsumsi dan atau membuka celah ekonomi dari olahan babi, termasuk kerupuk babi nan uueenaak itu.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN