TABANAN, BALIPOST.com – Pujawali di Pura Dalem Khayangan Kedaton, Tabanan, diisi dengan Mapeed, Selasa (22/8). Ada sejumlah keunikan yang menjadi “magnet” bagi wisatawan asing untuk datang ke DTW Alas Kedaton.
Apalagi, tradisi ngerebeg atau ritual berlari keliling pura sebanyak tiga kali dengan membawa bandrang, umbul-umbul, tombak, tedung, dan lelontek juga menambah keunikan tersendiri dari upacara rutin tiap enam bulan sekali ini. Tradisi Mapeed, sebagai perwujudan rasa syukur umat Hindu, dilakukan oleh ibu-ibu PKK dari 12 banjar di Desa Kukuh, kecamatan Marga.
Ketinggian gebogan pun kali ini disamakan atau hanya tiga tingkat saja. Kegiatan mepeed ini untuk mengawali upacara Pujawali yang tengah digelar di Pura Kahyangan Kedaton.
Bendesa Adat Kukuh Marga, Gusti Ngurah Arta Wijaya mengatakan, tidak seperti pura lainnya, keunikan lain yang dapat ditemui di pura ini adalah selama upacara berlangsung tidak menggunakan sarana dupa selama persembahyangan. Tidak menghidupkan dupa saat persembahyangan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton sudah dilaksanakan sejak pura ini ditemukan pada tahun 1775.
Ketika pertama kali ditemukan, lingkungan pura dalam kondisi sangat panas. Lalu sejak itulah larangan tidak menghidupkan dupa mulai diberlakukan.
“Tetapi kalau secara logika, Pura Dalem Kahyangan Kedaton ada di tengah hutan Alas Kedaton yang memiliki banyak habitat kera. Jadi kalau menghidupkan dupa, lalu tiba-tiba dibawa kera ke tengah hutan, tentunya ditakutkan akan terjadi kebakaran hutan,” papar Ngurah Arta.
Termasuk, ciri khas lainnya lagi yakni upacara atau Pujawali harus selesai sebelum matahari terbenam, dan akan dilanjutkan dengan tradisi Ngerebeg, atau berlarian dengan tombak, dengan Tedung dan beberapa cabang-cabang pohon yang berdaun. Semua orang baik dari anak anak, remaja, dewasa maupun tua ikut bersorak dan berteriak dengan gembira mengikuti tradisi ngerebeg ini.
“Tradisi ini yang dinanti nanti karena bermakna gereget atau suka cita karena seluruh rangkaian upacara pujawali berjalan aman dan lancar,” ucapnya.
Dan terkait Pujawali harus selesai pada sandikala (pertemuan siang dan malam hari), lanjut kata Gusti Ngurah Arta, karena dipercaya sampai saat ini ada penangkilan secara niskala, di mana alam gaib seperti wong samar (mahkluk halus) akan bergiliran sembahyang setelah matahari terbenam.
“Artinya di sekala dari pagi sampai sandikala harus sudah selesai, jadi tidak boleh menunggu krama datang, asal sudah waktu tetap harus menjalankan Pujawali,” jelasnya.
Keunikan lain yang bisa ditemukan di Pura Dalem Kahyangan Kedaton. Biasanya di setiap Pura, Utama Mandalanya akan lebih tinggi dari bagian Madya. Tetapi di Pura ini, Utama Mandalanya justru lebih rendah dari Madya.
“Ini ada ceritanya. Dulu saat masih dalam kekuasaan Belanda, Lingga Yoni yang berada di bagian Utama Mandala Pura Dalem Kahyangan Kedaton berusaha dipidahkan untuk dibawa ke Belanda. Namun semakin digali, dasar Lingga Yoni semakin ke bawah sehingga lama kelamaan bagian Utama Mandala menjadi lebih rendah dari Madya. Karena Lingga Yoni tidak bisa dipindahkan, akhirnya Utama Mandala dibiarkan saja seperti sekarang kondisinya,” jelas Ngurah Arta. (Puspawati/balipost)