Para pemimpin komunitas dan sejumlah menteri hadiri acara bertajuk "Merayakan Indonesia : Suara Kultural untuk Pemimpin Nasional 2024" yang diselenggarakan oleh Forum Titik Temu di Jakarta, Sabtu (26/8). (BP/Istimewa)

JAKARTA, BALIPOST.com – Para pemimpin komunitas diharapkan tidak terburu-buru untuk memasuki politik praktis dengan menduduki jabatan politik-publik, karena umat dan komunitas di akar rumput juga perlu dijaga. Selain itu, pemimpin komunitas juga perlu menyiapkan regenerasi kepemimpinan yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan. Demikian disampaikan Koordinator Staf Khusus Presiden, AAGN Ari Dwipayana saat menjadi salah satu narasumber di acara bertajuk “Merayakan Indonesia : Suara Kultural untuk Pemimpin Nasional 2024” yang diselenggarakan oleh Forum Titik Temu di Jakarta, Sabtu (26/8).

Turut hadir dalam acara tersebut, Menko PMK Muhadjir Effendy dan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki. Selain itu hadir Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ibu Omi Komariah Madjid, Direktur Pusat Studi Al-quran Prof. Quraish Shihab, Dewan Pembina Nurcholis Majid Society Yudi Latif, Ketum PGLII Pdt. Ronny Mandang, Ketua Sinode Gereja Bethel Indonesia Pdt. Rubin Adi Abraham, dan Dewan Sesepuh Sangha Theravada Indonesia Bhikku Jayamedho.

Baca juga:  Teknologi Sosrobahu Buktikan Anak Bangsa Bisa Lahirkan Karya Hebat

Menurut Ari, saat ini Indonesia berada dalam perubahan struktur kekuasaan. Sebelumnya, semua kekuasaan itu dikendalikan oleh pemimpin-pemimpin formal di tingkat negara. Akan tetapi, saat ini pemimpin sudah di mana-mana, kekuasaan ada di komunitas, baik itu komunitas bisnis, agama, budaya, dan juga berbagai kelompok masyarakat.

“Masalah kita itu, tidak semua orang mau menjadi pemimpin-pemimpin di komunitas, semua terserap menjadi pemimpin formal, menjadi pemimpin negara, menganggap semua pemimpin negara itu adalah satu-satunya yang akan mengubah kita semua. Itu lah sebabnya saya gembira sekali ketika Gus Dur menyebut betapa pentingnya kyai kampung, pentingnya menjadi penjaga gawang umat” katanya dalam rilis yang diterima.

Baca juga:  Kasus Positif COVID-19 Bertambah, PBM Tatap Muka Kembali Ditunda

Masalah lain yang dihadapi oleh bangsa Indonesia terkait politik etik. Menurut Ari yang menjadi permasalahan utama adalah soal integritas, yaitu konsistensi antara kata dan perbuatan. Ari menyitir WS Rendra bahwa perjuangan kita itu adalah mewujudkan kata-kata menjadi perbuatan. “Hari-hari ini kita mengalami permasalahan polusi udara, udara di Jakarta hari ini membahayakan kesehatan kita. Akan tetapi, yang lebih membahayakan di tahun politik adalah polusi kata-kata, karena akan banyak sekali kata-kata yang akan kita terima, kita dengar, ada yang bentuk dalam janji-janji, rayuan, dalam bentuk visi-misi, program-program itu semu kata-kata,” ujar Ari.

Baca juga:  BRI Group Sabet 2 Penghargaan Internasional Alpha Southeast Asia

Terakhir, Ari mengatakan, masalah lain di Indonesia adalah pemimpin yang merupakan wajah dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat Indonesia dianggap terlalu lama berada dalam perangkap budaya feodalisme, lebih suka menjadi kawula (abdi) bukan menjadi citizen atau warga negara yang baik.

Oleh karena itu, rakyat mudah digiring ke sana ke mari setiap 5 tahun. “Mari jadilah warga negara yang baik, yang aktif, sehingga kita bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang baik, dan setelah pemimpin itu terpilih kita bisa kontrol ramai-ramai,” tutur Ari. (kmb/balipost)

BAGIKAN