GIANYAR, BALIPOST.com – Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA) telah diluncurkan oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, pada Pesamuhan Agung IV Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Tahun 2023, di Wantilan Pura Samuan Tiga, Gianyar, Sabtu (26/8) lalu. Kelembagaan BUPDA ini sangat penting. Selain untuk memajukan perekonomian di desa adat, juga memiliki tujuan mulia untuk menggerakan kekuatan ekonomi Bali dengan memberdayakan krama desa adat demi terwujudnya kesejahteraan krama desa adat di Bali sesuai pelaksanaan Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.
Menurut Rektor ISI Denpasar, Prof. Dr. Wayan “Kun” Adnyana, S.Sn.,M.Sn., keberadaan BUPDA sangat vital bagi pembangunan perekonomian desa adat. Sebab, setiap desa adat di Bali memiliki sumber ekonomi yang dapat dikelola untuk membangun kesejahteraan bersama. Apalagi, krama setiap desa adat menghasilkan berbagai produk olahan, kuliner, kerajinan, maupun karya kreatif lainnya, yang dapat dikelola pemasarannya oleh BUPDA. Termasuk sangat memungkinkan mencipta jenis usaha baru sesuai potensi desa adat bersangkutan.
Prof. “Kun” Adnyana, mengatakan bahwa sebagai Rektor ISI Denpasar yang menyelenggarakan perguruan tinggi bidang seni dan desain, setiap semester menempatkan mahasiswa ke dunia usaha-dunia industri, desa, dan desa adat dalam pembelajaran merdeka belajar, dapat digandeng sebagai mitra kerja sama. Termasuk bisa membangun kolaborasi dengan krama desa adat mengembangkan kekaryaan kreatif. “Dengan demikian, kehadiran BUPDA akan semakin mengakselerasi atmosfer kreasi dan inovasi di desa adat. Tentu keberadaan BUBDA mesti didukung semua pihak, karena lembaga ekonomi ini akan menjadi katalisator kesejahteraan krama desa adat secara keseluruhan,” ujar mantan Kepala Dinas Provinsi Bali ini, Selasa (29/8).
Akademisi Hukum Unwar, Dr. I Wayan Rideng, SH.,MH., mengungkapkan pasca diberlakukan UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, semakin memperkuat kedudukan tugas dan fungsi desa adat dalam menjaga keberlangsungan lingkungan alam dan kebudayaan Bali yang menjadi marwah Bali sebagai destinasi wisata dunia. Pariwisata Bali yang mengandalkan budaya, wajib untuk tetap dijaga dan dilestarikan. Sehingga tepat keberadaan BUPDA di masing-masing desa adat bentuk untuk menggerakkan kekuatan perekonomian desa adat. Dengan demikian, keberadaan BUPDA mampu mendorong peningkatan kesejahteraan warga (krama) di desa adat. Apalagi, di Bali terdapat sebanyak 1.493 desa adat, yang keberadaan wilayahnya memiliki karakter dan potensi yang perlu dikembangkan, serta dikelola dengan baik.
Oleh karena itu, kehadiran BUPDA yang secara spesifik difokuskan melaksanakan usaha sektor riil, jasa, dan/atau pelayanan umum, diharapkan mampu memantik pertumbuhan perekonomian daerah lebih masif lagi, yang pada masa pandemi Covid-19 perekonomian Bali sangat terpuruk.
Sekretaris Prodi S3 Hukum Unwar ini, memaparkan bahwa BUPDA dalam pembentukanya diselenggarakan berdasarkan hukum adat dan dikelola dengan tata kelola modern. Sehingga, sangat relevan di tengah-tengah tatanan kehidupan global. Dimana, saat ini perkembangan iptek yang sangat pesat telah mempengaruhi segala sendi kehidupan manusia. Untuk itu, keberadaan BUPDA sangat perlu menyesuaikan dengan perkembangan yang ada, tanpa harus meninggalkan falsafah, prinsip-prinsip dan nilai-nilai kearifan lokal. Yaitu, kemanfaatan (kawigunan), kekeluargaan (menyama braya), bersatu (masikian), kebersamaan (gilik-saguluk), musyawarah (parasparo), kegotong-royongan (salunglung-sabayantaka), dan kepemilikan bersama (padegelahan). Untuk kemudian model ini mampu sebagai raw model kebaharuan yang diharapkan mampu menstimulus dan menggerakan roda perekonomian di desa adat, untuk kesejahteraan dan kemandirian krama desa adat.
Selain itu, menurut Wayan Rideng, pembentukan dan pendirian BUPDA di setiap desa adat, akan dapat memberikan kesempatan bagi krama desa adat dalam pengembangan inovasi dan kreativitas dalam menggali dan memberdayakan potensi di milikinya. Serta mengawalinya dapat melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, untuk kemudian akan terjadi transformasi pengetahuan yang bermuara pada kemandirian dan kesejahteraan krama desa adat. Kondisi ini juga akan memberikan implikasi untuk meringankan bagi krama dalam pemenuhan beban terhadap kewajiban-kewajiban yang dilakukannya. Sehingga tidak lagi ada kesan, krama melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentang dengan peraturan perundang-undangan, dengan dalih untuk membiayai kewajiban yang harus dipikul sebagai krama desa adat. (Kmb/Balipost)