Wisatawan saat melakukan aktivitas pendakian di Gunung Agung. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali menetapkan anggaran untuk pecalang wanakerthi Gunung Agung dan Gunung Batur sebesar Rp10,441 miliar, pada Perda Anggaran Perubahan 2023 didukung Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali. Dukungan sikap kepada Pemerintah Provinsi Bali, karena pemandu wisata lokal yang disebut pecalang wanakerthi ini mendapat apresiasi, sehingga diharapkan dapat berkontribusi menjaga kebersihan dan kesucian gunung.

Ketua HPI Bali, Nyoman Nuarta, Senin (4/9) mengatakan, persoalan guide lokal atau guide khusus untuk pendakian gunung telah lama terjadi. Maka untuk mengantisipasi perlawanan dari masyarakat yang tinggal di sekitarnya terhadap larangan pendakian, yang notabene menjadi pekerjaan mereka sebelumnya, menjadi pecalang wanakerthi, merupakan jalan tengah yang terbaik.

“Daripada kita melarang sesuatu tanpa ada alternatif kebijakan atau solusi, lebih baik dengan jalan tengah ini. Cara ini akan memberikan dampak positif di sekitar gunung dan mereka juga akan ikut memelihara dan memantau kebersihan dan kesucian gunung. Daripada tidak diberikan pekerjaan yang lain, yang justru nanti akan mengganggu, secara psikologis mudah dibenturkan, jadi itu sebagai sebuah antisipasi yang patut didukung,” ujarnya.

Baca juga:  Dukungan Gerakan Bali Bersih

Diakui, DPD HPI Bali akan turut membantu secara administrasi, memberikan tambahan pengetahuan serta pola-pola pendekatan yang dibangun kepada mereka. Toh juga selama ini banyak lisensi pemandu wisata di kabupaten/kota banyak yang mati. Sehingga perlu mengurus lisensi kembali.

Dengan adanya pekerjaan pengganti ini, secara moral, DPD HPI Bali secara moral dapat terbantukan. “Yang memiliki kewenangan secara admisitratif terkait izin pemandu wisata ada di pemerintah kabupaten/kota, namun secara kelembagaan kita punya tanggung jawab moral, terhadap posisi pemandu yang ada di gunung dan pura Besakih,” ujarnya.

Dengan kebijakan dari Pemprov Bali ini, ia sekaligus mendorong guide yang ada di kabupaten/kota terutama pemandu wisata khusus agar mengurus ijin atau lisensi karena menurutnya banyak guide yang belum punya lisensi. Hal itu terjadi karena di internal pemerintah kabupaten/kota belum mampu menerjemahkan persoalan guide atau pemandu lokal.

Baca juga:  Diumumkan, 3 Terbaik Calon Pengisi 11 Kursi Pimpinan Tinggi Pratama di Pemprov Bali

“Maka seiring dengan adanya kebijakan gubernur, kabupaten/kota juga harus segera memberikan satu lisensi atau Kartu Tanda Pengenal Pramuwisata (KTPP) khusus agar bisa memetakan antara guide berlisensi dan tidak,” tandasnya.

Sedangkan yang terjadi saat ini, guide di kabupaten/kota masih amburadul karena lisensinya mati. Menurutnya, saat ini momen yang tepat memperbaiki administrasi pemandu wisata agar gayung bersambut dengan kebijakan Gubernur Bali yang pro terhadap pemandu wisata.

Dengan jalan tengah yang diberikan pemerintah Provinsi Bali di tengah larangan pendakian ini menurutnya, win win solusi. Hanya saja law enforcement-nya harus ditegakkan.

Peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana I Made Sarjana, Rabu (6/9) mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah terkait pengalihan dari guide lokal khusus pendaki ke pecalang wanakerthi menurutnya bisa saja dilakukan asalkan konsepnya pemberdayaan masyarakat.

Baca juga:  Gubernur Koster Janji Penuhi Anggaran Proyek Revitalisasi Pasar Banyuasri

Selain itu menurutnya, implementasinya harus terukur, misalnya jika mau mulai diberlakukan tahun anggaran 2024, jangan sampai sudah dianggarkan tapi tak pernah ada realisasi. “Kasihan nanti masyarakat lokal tak ubahnya menanti sinar bintang di siang hari,” ujarnya.

Kebijakan ini harus diikuti dengan pelatihan kepemanduan bagi pecalang dalam mendaki gunung, harus ada pendampingan dari stakeholder kepariwisataan agar pecalang yang memiliki multi peran mampu melaksanakan perannya sesuai kebijakan Gubernur.

Keberadaan pecalang wanakerthi ini menjadi jaminan terjaganya kearifan lokal di kawasan gunung tersebut. “Pecalang pasti tahu mana tempat keramat atau sakral sesuai kepercayaan umat Hindu utamanya warga setempat sehingga wisatawan saat mendaki tidak menodai kesakralan tersebut. Ini menjadi jalan tengah antara menjaga kesucian gunung dan memberikan alternatif pendapatan tambahan dari sektor pariwisata kepada masyarakat lokal,” imbuhnya. (kmb/balipost)

BAGIKAN