DENPASAR, BALIPOST.com – Instruksi Gubernur Bali Nomor 1545 tahun 2019 tentang sosialiasi program Keluarga Berencana (KB) Krama Bali dengan empat anak yakni Wayan, Made, Nyoman dan Ketut harus didukung karena merupakan fondasi untuk melestarikan dan merawat budaya Bali. Upaya Gubernur Bali, Wayan Koster ini juga berkaitan dengan Haluan Pembangunan Bali masa depan, 100 Tahun Bali Era Baru.
Program Gubernur Koster ini diapresiasi komponen masyarakat Bali. Namun, sosialisasi program juga harus diiringi dengan langkah nyata, menjaga kualitas KB Krama Bali. Hal itu terungkap dalam Dialog Merah Bali Era Baru pada Senin (4/9) di Warung Bali Coffee Jalan Veteran 63, Denpasar, Senin (4/9).
Budayawan asal Kesiman I Gede Anom Ranuara, S.Pd., S.Sn.,M.Si. menjelaskan, bahwa Bali memiliki kearifan lokal dari sisi demografi yaitu memiliki empat anak dengan penandaan dari sisi nama. Wayan untuk anak pertama, Made untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga, dan Ketut untuk anak keempat. Menurutnya, konsep leluhur tersebut bukan tanpa spirit dan filosofi termasuk penandaan dengan penamaan pada setiap anak.
Keluarnya Instruksi Gubernur Bali nomor 1545 tahun 2019 merupakan bentuk upaya awal pemerintah demi terjaganya pelestari budaya Bali yaitu krama Bali itu sendiri. Mengingat Bali dibangun dengan spirit maka perlu kembali digalakkan generasi berencana krama Bali.
Sejak Orde Baru, dengan kampanye BKKBN 2 anak cukup, telah sukses mendoktrin masyarakat khususnya di Bali agar memiliki 2 anak. Keberhasilan KB Nasional itu mempengaruhi sistem demografi di Bali yang telah ada sebelumnya yaitu KB krama Bali, 4 anak. Dengan kesuksesan KB Nasional itu juga menjadi bukti bahwa masyarakat Bali pada umumnya, patuh dan mengikuti arahan dari pemerintah sehingga KB 2 anak cukup, bisa tercapai. Namun belakangan, BKKBN mengubah kampanye 2 anak cukup dengan 2 anak lebih baik, termasuk di Bali, Gubernur Bali Wayan Koster mendobrak kampanye 2 anak cukup dengan KB Krama Bali. Menurutnya, program lama yang tidak eksis dan merugikan, sementara muncul program baru, maka program lama akan luluh. Dengan demikian menurutnya sah–sah saja Gubernur Bali, Wayan Koster, saat ini kembali memopulerkan KB Krama Bali.
Menurutnya, jika satu komponen dari budaya Bali hilang, maka komponen lain juga akan hancur. Maka dari itu perlu pengenalan kembali komponen KB Krama Bali agar bisa eksis. Dengan dikenalkan, maka akan menjadi pertanyaan bagi anak muda tentang KB Krama Bali, ini menjadi fondasi mengembalikan spirit yang ada di Bali.
Bendesa Adat Alasngandang, Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Karangasem, I Komang Warsa mengatakan, apa yang dikhawatirkan Gubernur Bali Wayan Koster akan masa depan generasi penerus Bali juga menjadi kekhawatian masyarakat desa. Karena untuk melestarikan budaya–budaya yang ada di Bali salah satunya bahasa dan aksara Bali sesuai dengan Pergub Nomor 80 tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali, memerlukan faktor pendukung yang cukup yaitu SDM Bali.
Setiap nama dan konsep–konsep kehidupan yang dilakukan oleh orang Bali merupakan warisan leluhur yang memiliki maksud dan pesan tersendiri, termasuk ada maksud dari KB 4 anak, penamaan setiap anak, ada unsur penandaan gender, unsur tanggung jawab purusa dan pradhana, dan konsep–konsep lainnya.
Maka dari itu, untuk menjalankan konsep dan aturan hidup masyarakat Bali perlu pemimpin yang mengerti tentang Bali dan berpihak pada Bali. Peradaban budaya Nusantara khususnya Bali perlu diperkuat. “Kita harus mengisi ulang kebalian orang Bali lewat tradisi budaya, tradisi adat. Jangan sampai tradisi adat tergerus dengan modernisasi,” ujarnya.
Manggala Pasikian Yowana Provinsi Bali Dewa Ardita mengatakan, konsep leluhur Bali menjaga peradaban Bali dari sisi kependudukan sangat cemerlang. Konsep empat anak merupakan cara leluhur untuk menjaga SDM Bali, maka dari itu ia mengapresiasi upaya Gubernur Bali Wayan Koster mengangkat peradaban Bali dengan mengangkat KB Krama Bali. Namun perlu diperhatikan, sebagai generasi muda Bali ia menyadari jaman telah berubah termasuk juga perekonomian masyarakat Bali.
“Sebagai generasi muda Bali, kami masih terbayang-bayang didoktrin 2 anak cukup, bagaimana mengembalikan agar anak muda Bali untuk kembali menerapkan KB Krama Bali? Dan mengapa orang tua dulu bisa punya anak bahkan sampai 9 anak. Tiang melihat, kebutuhan saat ini bukan hanya nasi dan lauk saja tapi juga pendidikan, susu, gadget. Sedangkan dulu orang tua kita, tidak memikirkan itu, bisa-bisa cuma memberikan “yeh baas” bagi anaknya,” tuturnya.
Maka dari itu, sosialisasi KB Krama Bali harus ditunjang dengan kualitas dari krama Bali itu sendiri. “Jangan sampai membuat program 4 anak tidak berkualitas, apa jadinya 2045. Bisa saja akan jadi kekacauan jika tidak dibarengi dengan generasi berkualitas,” tandasnya.
Fenomena yang terjadi di dunia seperti di Jepang yang memfasilitasi warganya mulai dari kehamilan hingga kelahiran, termasuk fenomena banyak generasi muda WNI berpindah kewarganegaraan Singapura bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah di Bali. Bahwa generasi muda Bali harus difasilitasi dan mendapat kepastian dalam memenuhi kebutuhan keluarganya jika menerapkan aturan dari pemerintah KB Krama Bali. Ia pun yakin dengan kondisi ekonomi Bali dan pariwisata Bali, pemerintah Bali mampu memberi fasilitas tersebut. (Citta Maya/balipost)