Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Literasi berasal dari kata ‘literate’ yang artinya melek aksara atau tulisan. Mereka yang melek tulisan diidentikkan dengan kata terpelajar, sehingga mereka yang illiterate atau buta aksara dianggap golongan yang tidak terpelajar. Oleh karena literasi tersebut merujuk pada kemelekaksaraan, maka kemampuan literasi lebih difokuskan pada kemampuan membaca dan menulis sebagai literasi dasar. Tentu masih banyak lagi jenis-jenis literasi dengan makna yang semakin meluas sesuai dengan konteks dan tujuannya.

Pembudayaan literasi ini bertujuan untuk menjadikan masyarakat cerdas sehingga mampu mencerna dan memahami informasi dengan baik. Literasi juga menjadi fondasi pembentukan sumber daya manusia unggul, karena masyarakat literat mampu membawa bangsa pada kemajuan. Namun, berbagai fakta membuktikan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masih rendah karena belum memiliki budaya membaca yang baik. Berbagai hasil penelitian membuktikan hal tersebut. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat literasi dasar (membaca dan menulis), antara lain fasilitas yang kurang memadai dan lingkungan keluarga yang kurang mendukung.

Oleh karena itu, budaya literasi tersebut perlu dikembangkan sejak dini, yakni mulai dari lingkungan keluarga. Ketika anak-anak belum masuk ke jenjang pendidikan formal (TK), keterlibatan orang tua memegang peran sentral di rumah untuk menghadirkan lingkungan kaya literasi. Lingkungan kaya literasi adalah lingkungan belajar bahasa yang dibangun oleh orangtua yang bisa diwujudkan dengan menyediakan fasilitas yang memadai di rumah yang mudah diakses sewaktu-waktu oleh anak, seperti buku cerita bergambar atau buku-buku berisi permainan yang sesuai dengan usia mereka.

Baca juga:  Guru Dalam Dinamika Demokrasi 

Dengan penyediaan fasilitas yang memadai tersebut, anak-anak dapat menumbuhkan minatnya membaca. Ada empat tahapan yang harus dilewati agar anak-anak memiliki budaya literasi, yaitu ketertarikan, cinta, kebutuhan, dan budaya. Pertama adalah membangun ketertarikan (interest) membaca. Jika orang tua ingin anaknya senang membaca, maka harus memberi contoh dengan mulai membacakan sesuatu yang disukai anak seperti membaca cerita bergambar. Bahan bacaan tersebut dapat berupa buku cetak yang berisi gambar-gambar berwarna atau bisa juga tidak berwarna, yang nantinya bisa diwarnai oleh anak.

Bisa juga anak-anak diajak memirsa cerita tersebut secara daring bila memiliki fasilitas yang mendukung. Keberadaan bahan bacaan yang berisi gambar-gambar atau visualisasi berwarna dapat membantu anak-anak yang awalnya tidak tertarik membaca, menjadi tertarik pada gambar-gambar, dan kemudian menjadi mulai merasakan ketertarikan pada tulisan yang melengkapi gambar. Orangtua hendaknya menemani anak-anak usia dini ini saat membaca agar ada yang membimbing mereka. Kegiatan membaca awal sebagai pembentukan literasi awal (early literacy) dapat dilakukan melalui membaca keras (reading aloud), sehingga orangtua dapat mengenalkan ejaan atau tulisan sekaligus pelafalan dari kata-kata yang ada pada cerita.

Baca juga:  Literasi Olahraga Kesehatan

Selanjutnya orangtua juga harus berinteraksi dengan mereka saat membacakan cerita, misalnya menanyakan gambar apa yang mereka lihat, deskripsi sederhana siapa karakter dalam cerita, apa, dan bagaimana perilakunya. Dengan cara berinteraksi tersebut, orangtua dapat mengetahui pemahaman anak terhadap bacaan serta nilai-nilai moral yang ada pada cerita.  Dengan bimbingan orangtua, anak-anak akan merasakan bahwa kegiatan membaca adalah kegiatan yang menarik.

Tahap kedua adalah cinta (love). Bila anak-anak sudah menunjukkan ketertarikan pada bacaan, lambat laun akan terbentuk kesukaan atau kegemaran membaca. Anak yang suka atau gemar membaca akan menunjukkan sikap seperti menggunakan waktu luangnya untuk mengambil buku dan membaca. Mulai ada kesadaran dari diri sendiri untuk mengambil bahan bacaan dan mengajak orangtua atau saudara untuk membaca bersama atau menyuruh orangtua membacakan cerita. Buku yang menjadi kegemarannya dapat dibaca berulang-ulang sebagai tanda bahwa dia mulai menyukai atau cinta membaca.

Tahap selanjutnya adalah kebutuhan (need). Anak-anak yang sudah sampai pada tahap ini sudah merasakan bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan. Dia merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya bila tidak membaca. Pada tahap ini, mereka sudah  merasakan pentingnya membaca dan sudah mampu menentukan sendiri bacaan-bacaan yang mereka perlukan bahkan memilih dan membeli bahan bacaan sendiri. Mereka sudah mampu membangun kemandirian dalam menentukan bacaan sebagai bagian dari kebutuhan dirinya.

Baca juga:  Transformasi Pelayanan Jasa Angkutan Logistik dari Hulu ke Hilir Era Revolusi Industri 4.0

Tahap terakhir adalah budaya. Anak-anak yang dapat mencapai tahap ini adalah mereka yang sudah menjadikan membaca sebagai bagian hidup. Menjadikan membaca sebagai bagian hidup atau cara hidup artinya bahwa kegiatan membaca dan menulis menjadi kebutuhan sehari-hari atau rutinitas dan kebiasaan. Pada tataran ini, anak-anak sudah dapat dikatakan sebagai ‘bookworm’ kutu buku, seorang pencinta yang melahap abis semua isinya untuk dibaca dan dipahami. Seorang kutu buku akan betah berlama-lama untuk membaca, jika belum selesai satu buku dia tidak akan beranjak untuk kegiatan lain.

Dengan demikian, orangtua menjadi salah satu faktor penentu untuk membudayakan literasi yang dimulai dari rumah. Oleh karena literasi dasar menjadi fondasi untuk literasi lainnya, tugas orangtua untuk menyediakan lingkungan kaya literasi dan mendampingi putra-putrinya dalam membangun dan mengembangkan literasi di lingkungan keluarga. Selamat Hari Literasi Internasional.

Penulis, Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN