I Wayan Ramantha. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Ramantha

Ekonomi hijau atau green economy, ternyata belum dipahami secara inklusif di Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun di Kalimantan dan kini terjadi di gunung Arjuno serta Bromo Jawa Timur, semua disebabkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kondisi seperti itu, barangkali menjadi salah satu sebab, mengapa Gubernur Wayan Koster melarang orang mendaki gunung (kecuali untuk kepentingan upacara). Alasan yang pasti adalah Wana Kerthi tidak dimaksudkan sebagai filosofi semata, tetapi terimplementasikan dalam menjaga alam, manusia dan kebudayaan Bali.

Kalau di Kalimantan, hutan sengaja dibakar untuk memperluas lahan pertanian masyarakat, atau merupakan teknik yang paling murah bagi oknum pengusaha Hak Pengelolaan Hutan (HPH) untuk memperluas tanaman komoditas usaha mereka. Sedangkan yang di gunung Bromo Jawa Timur, dipicu oleh ulah kreativitas konyol usaha foto prewedding.
Semua itu, merupakan dampak negatif dari ulah manusia dalam memenuhi kebutuhan ekonominya secara egois.

Baca juga:  Menanamkan Edukasi Prokes pada Anak

Mereka memang tidak memiliki filosofi Tri Hita Karana, tapi seharusnya mereka paham bahwa lingkungan hijau, menjadi kebutuhan manusia, baik kini maupun di masa yang akan datang.

Ekonomi hijau sebetulnya menjadi orientasi pembangunan ekonomi global secara berkelanjutan. Ekonomi hijau secara makro bahkan terprogram dalam Sustainable Development Goal’s (SDG’s) dan secara mikro menjadi motto perusahaan yang bertujuan untuk tidak saja mencari untung, tetapi juga memperhatikan
kepentingan manusia secara keseluruhan dan alam semesta.

Mereka menyebutnya sebagai triple bottom line dan menyingkatnya dengan tiga P atau triple P yang artinya Profit, People, dan Planet. Karena alasan itu pula, pada setiap ada pertemuan internasional seperti pertemuan G20 di Nusa Dua tahun lalu, ada aktivitas penanaman
mangrove oleh seluruh Kepala Negara yang hadir di G20 Bali tahun 2022. Pertemuan negara-negara Asean di Jakarta bulan November tahun ini, juga membahas ekonomi ramah lingkungan, khususnya pada bidang energi.

Baca juga:  Dampak Kemarau Panjang, Hutan di Gerokgak Terbakar

Sayangnya memang, komitmen semacam ini belum dimengerti oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kebakaran hutan di gunung Bromo memang telah memberikan pemuasan kebutuhan ekonomi usaha foto pre wedding, tetapi menutup kesempatan ekonomi masyarakat lainnya yang menggantungkan hidup pada pariwisata alam yang sangat eksotis itu.

Penjaja makanan dan minuman, penyewaan kendaraan dan usaha masyarakat lainnya menjadi lenyap, setidaknya dalam enam bulan setelah kejadian. Kejadian itu secara total sesungguhnya telah merugikan
secara ekonomi, belum kita pandang dari kebutuhan spiritual masyarakat Hindu Tengger.

Pelajaran berharga dari Kalimantan dan Jawa Timur itu, hendaknya memberikan penyadaran, bahwa merawat alam menjadi kewajiban kita semua, apapun profesi kita, bukan pemerintah semata. Keberadaan hutan, apalagi yang ada di gunung, sebetulnya berperan besar
terhadap kebutuhan ekonomi seluruh umat manusia.

Baca juga:  Sejumlah Titik Hutan Lindung di Desa Kutuh Terbakar

Selain sebagai sumber penyimpanan air, hutan dan gunung juga berfungsi untuk menjaga keragaman hayati dan merupakan sumber bahan mineral. Merawat hutan dan gunung, merupakan implementasi ekonomi hijau yang tidak saja untuk kepentingan ekonomi jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang. Merawat hutan dan gunung merupakan prilaku ekonomi yang bijak.

Ekonomi hijau yang dapat kita nikmati saat ini, harus dijaga, agar anak cucu kita memperoleh kenikmatan yang sama di kemudian hari. Itu juga menjadi tujuan utama SDG’s.

Penulis, Guru Besar FEB Unud, Warga Batubulan-Gianyar

BAGIKAN