John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo 

Belum lama ini beredar di wahana media sosial, seorang pengendara mobil mini bus kedapatan membuang puluhan bungkus sampah di pinggir jalan desa Cileungsi Kabupaten Bogor Barat. Akibat kepergok warga dan menolak dibawa ke balai desa, pengendara mobil itu memasukkan kembali kantong-kantong sampah itu ke dalam mobilnya. Kejadian itu mencerminkan masih buruknya kebiasaan mengelola sampah di negeri kita.

Sampah telah menjadi persoalan kronis di negeri ini. Menurut penulis, mengelola sampah adalah kebiasaan dari manusia beradab. Artinya, beradab tidaknya seseorang, tidak hanya diukur dari tutur kata dan perilakunya yang umum, tetapi juga secara khusus, dari cara dia mengelola sampahnya. Mengapa kesadaran ini perlu dibangun sejak usia dini?

Yang dimaksudkan dengan sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi. Dalam konteks rumah tangga, sampah menyangkut barang-barang sisa yang layak dibuang. Jenis-jenis sampah rumah tangga termasuk kertas, plastik, kardus, aluminium, metal, dan sampah elektronik dikategorikan sebagai sampah anorganik yang dapat bernilai ekonomis ketika didaur ulang. Sedangkan sampah organik seperti makanan dan sayuran dapat menjadi pupuk organik.

Permasalahan pengelolaan sampah yang ada di Inonesia dapat dilihat dari sejumlah faktor, yakni tingginya jumlah sampah yang diproduksi, tingkat pengelolaan pelayanan masih rendah, TPA yang terbatas jumlahnya, institusi pengelola sampah dan persoalan biaya. Kesadaran masyarakat akan sampah dan pentingnya menjaga lingkungan juga masih rendah. Karena itu, pengelolaan sampah belum membudaya dalam masyarakat ini.

Baca juga:  Metafora Guru sebagai Cahaya

Sesungguhnya pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah sebagaimana yang tercantum dalam UU No. 18 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah. Penyaluran sampah yang banyak ditemui terdiri dari proses pengumpulan sampah dari permukiman atau sumber sampah lain, pengangkutan sampah untuk dibuang di Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan proses terakhir yaitu pembuangan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

Berkaca pada kasus pembuangan sampah sembarangan yang dilakukan oleh seorang dewasa di Kabupaten Bogor itu, penulis berkesimpulan bahwa kebiasaan pengelolaan sampah harus dibiasakan sejak usia dini agar terbawa hingga usia dewasa. Mengapa demikian? Karena kebiasaan mengelola sampah yang baik, dapat membantu melindungi kesehatan lingkungan hidup dan manusia. Sebaliknya, sampah yang tidak dikelola dengan dengan baik, selain akan menimbulkan banjir, juga akan menyebabkan pencemaran pada air, tanah, dan udara, sehingga dapat menimbulkan masalah yang serius terhadap kesehatan manusia.

Baca juga:  Indonesia Laboratorium Pluralisme

Pengelolaan sampah juga penting, karena ia dapat membantu melestarikan sumber daya alam. Dengan mengurangi, mengggunakan kembali, dan mendaur ulang sampah, kita dapat mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke TPA. Pada gilirannya, pengurangan itu akan membantu melestarikan sumber daya alam seperti pohon, air, dan mineral.

Dengan mengajarkan prinsip 3 R, yakni: reduce, reuse, recycle kepada anak-anak, maka mereka akan belajar bagaimana menghilangkan sampah dan melindungi lingkungan hidup mereka sendiri.

Perlu kita acungi jempol untuk sejumlah tokoh masyarakat yang kreatif dalam menginisiasi pengelolaan sampah. Sebagai contoh, harian the Jakarta Post edisi 14 Oktober 2014, pernah menayangkan sebuah laporan mengenai sekolah TK Junjung Biru, Desan Tuan Kentang, Kecamatan Sebrang Ula I, Pelembang Sumatra Selatan, yang membolehkan orangtua membayar SPP anak-anak mereka dengan sampah daur ulang.

Melalui cara ini, sekolah mengajarkan murid-muridnya untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat, karena sampah dapat bernilai ekonomis. Sekolah itu juga mengajarkan kerajinan dari sampah daur ulang seperti boneka, berbagai ornamen, peralatan alat tulis, tas, gantungan kunci, dll.

Baca juga:  Sampah dan Cerminan Karakter

Sayang, upaya semacam ini masih bersifat sporadis, dan muncul dari inisiatif perorangan. Alangkah baiknya, jika metode ini menjadi suatu gerakan bersama yang masif dan bersifat wajib di semua sekolah. Misalnya, pengelolaan sampah dimasukkan sebagai kegiatan ekstra kurikulum, di mana para siswa mendapatkan kredit poin untuk kegiatan mengelola sampah mereka. Penulis yakin, perlibatan anak secara wajib ini merupakan salah satu cara mengurangi sampah secara efektif.

Selanjutnya di luar sekolah, upaya pengelolaan sampah yang efektif juga dapat menciptakan peluang kerja dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan mendaur ulang barang-barang seperti kertas, kaca, dan plastik, kita dapat menciptakan industri baru yang menghasilkan kesempatan kerja dan pendapatan. Sikap yang beradab ini tidak mungkin bersifat dadakan, tetapi harus dilatih agar menjadi kebiasaan (habit).

Singkat kata, pengelolaan sampah yang efektif itu penting untuk melindungi lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Dengan mengajarkan anak-anak tentang pengelolaan sampah yang baik dan efektif, kita dapat menciptakan dunia yang lebih sehat dan bersih, bagi masa depan generasi mendatang.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN