Kemacetan di jalur Bypass Ngurah Rai, Sanur menjadi pemandangan harian. Kondisi ini bertambah parah dengan dioperasikannya Pelabuhan Sanur. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana pembangunan Light Rail Transit (LRT) untuk akses keluar dan menuju Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai dinilai mampu atasi kemacetan. Namun, rencana groundbreaking awal 2024 dinilai belum berdasarkan kajian mendalam, hingga terkesan terlalu cepat atau istilah Jawanya “kesusu”. Demikian disampaikan pengamat transportasi Prof. I Putu Rumawan Salain yang diwawancarai di Denpasar, Jumat (29/9).

Menurut Prof. Rumawan, persoalan transportasi publik sangat penting dan perlu bagi Bali, khususnya Bali Selatan. Memilih dan memutuskan menggunakan LRT adalah sesuatu yang tepat dan green transportation. Hanya saja, jika grounbreaking sudah dilakukan awal tahun, hal tersebut menurut Prof. Rumawan ter-
lalu cepat.

“Persoalannya, jika groundbreaking diharapkan tahun 2024 menurut saya terlalu cepat atau “kesusu”, karena studi pendahuluan maupun calon investor belum final,” katanya.

Baca juga:  “Karya Ngusaba” Pura Agung Kentel Gumi Momentum Memohon “Paneduh” Jagat

Diingatkan, bahwa investasi untuk LRT itu cukup besar. Jika relnya di atas tanah, maka harga lahan sepanjang bandara ke Kuta harganya mahal dan jalurnya sulit mengingat kepadatan. Sedangkan jika rel dibangun dengan jalur di bawah tanah maka harga konstruksi menjadi mahal. Masalah lainnya adalah izin dan hak pemanfaatan lahannya.

Pemerintah Bali hendaknya cerdas membaca master plan LRT termasuk rencana perkereta-apian di Bali seperti integrasi sistem transportasi, jaringan, jalur, dll. sehingga satu dengan lainnya saling mendukung bukan saling melahirkan kemacetan baru.

Akademisi dari Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. Putu Alit Suthanaya mengatakan, Ligth Rail Transit (LRT) bisa menjadi solusi kemacetan. Terlebih bagi Denpasar dan Badung yang tidak mudah untuk membangun jalan karena sudah terlalu padat.

Baca juga:  Rektor Unud Akhirnya Ditahan, Kejati Bali Ungkap Alasannya

Pembangunan jalan baru seperti di Kota Denpasar hampir tidak memungkinkan lagi dilakukan. Sementara infrastruktur yang bersifat elevated seperti jalan layang bertentangan dengan nilai sosial dan budaya. Sehingga yang diperlukan adalah kombinasi yang optimal
antara pembangunan jalan dan sistem
transportasi publik.

LRT merupakan salah satu alternatif moda yang bisa ditawarkan. Tentunya ada juga moda transportasi lainnya yang perlu dipertimbangkan seperti BRT atau kombinasinya. “Kita memerlukan layanan transportasi publik dengan kualitas baik, yang tidak terjebak dalam kemacetan lalu lintas,” ujarnya.

Namun, pemilihan modanya sangat tergantung pada beberapa hal seperti kualitas layanan yang diharapkan, potensi demand, kemampuan finansial serta kebijakan. “Bali sebagai sebuah destinasi wisata dunia tentunya membutuhkan kualitas layanan transportasi publik yang baik,” imbuhnya.

Baca juga:  Baru Satu Hari Kos, Pengedar Narkoba Digerebek

Dalam membangun system transportasi di Bali harus ada beberapa aspek yang diperhatikan. Secara geografis luas wilayah Provinsi Bali relatif kecil (5.590,15 km2) sebagai sebuah pulau dengan satu provinsi. Berbeda halnya dengan pulau lainnya seperti Pulau Jawa, dimana terdapat beberapa provinsi.

Bagian tengah Pulau Bali terdiri dari perbukitan, pegunungan dan lembah. Selain masalah geografi dan topografi, terdapat kehidupan sosial budaya dan alam Bali yang perlu diperhatikan dan dilestarikan, yang sekaligus merupakan menjadi daya tarik Bali bagi wisatawan.

Sehingga kebutuhan pengembangan transportasi Bali harus mempertimbangkan kaidah pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), yang tidak semata-mata berorientasi ekonomi tapi juga memerhatikan keseimbangan alam dan sosial budaya. (Nyoman Winata/Citta Maya/balipost)

BAGIKAN